Ngunandiko.90
Proklamasi 17 Agustus 1945
Proklamasi 17 Agustus '45 |
Dalam kesempatan memperingati "Proklamasi 17 Agustus 1945" yang ke-70 tahun 2015 ini, Ngunandiko ingin menyajikan sepenggal kutipan dari buku "Adam Malik Mengabdi Republik" yang menceritakan hal-hal terkait dengan suasana disekitar peristiwa "Proklamasi 17 Agustus 1945" atau "Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia "tersebut sbb:
. . . . . . ..Jenderal Mac Arthur tentulah akan berkenalan dan berhadapan dengan kenyataan bahwa tanpa kecuali hampir semua politisi Indonesia adalah "Collaborator" tentara Jepang. Bukan hanya Soekarno-Hatta yang akan harus dia habisi.
Perlu kiranya diingat bahwa dalam medan pertempuran kawasan Asia Tenggara (pada akhir PD II) antara Tentara Sekutu dan Tentara Jepang, ada dua formasi pasukan Sekutu yang masing-masing bergerak di ujung barat dan ujung timur wilayah tersebut. Menurut posisi geografisnya, yang bergerak dibagian barat dinamakan South East Asia Command (SEAC) dibawah pimpinan Jenderal Lord Mountbatten dari Inggris dan yang dibagian timur bernama South West Pacific Area Command (SWPAC) di bawah pimpinan Jenderal Mac Arthur .
Pada awalnya telah disepakati oleh Gabungan Pimpinan Staf Tertinggi Sekutu bahwa sesudah Jepang berhasil ditaklukkan - maka daerah jajahan Belanda, terkecuali Sumatra, akan di tempatkan di bawah kekuasaan South West Pacific Area Command,
di dalam mana tergabung pula tentara Australia. Dalam gerakan menuju kejurusan Barat tentara Australia itu berhasil menduduki Irian Barat (sekarang Papua), Morotai, Tarakan, dan Balikpapan, sedangkan gerakan tim South East Asia Command (SEAC) di daerah Burma tersendat-sendat.
Tapi kemudian, dalam bulan Juli 1945 persetujuan Postdam menjalani perubahan-perubahan vital yang ditentukan oleh Gabungan Kepala Staf Inggris-Amerika. Mereka menetapkan bahwa South East Asia Command di bawah pimpinan Jenderal Lord Mountbatten-lah yang diberi tugas untuk mengembalikan keamanan di daerah Muangthai, bagian selatan Indo-Cina dan Hindia Belanda. Perubahan mendadak inilah yang menyebabkan Jenderal Mac Arthur tidak dapat melaksanakan maksudnya untuk menyikat habis apa yang disebutnya "penjahat perang Indonesia".
Akan tetapi andaikata perubahan itu tidak terjadi, maka Jenderal Mac Arthur tentulah akan berkenalan dan berhadapan dengan kenyataan bahwa tanpa kecuali hampir semua politisi Indonesia adalah "Collaborator" tentara Jepang. Bukan hanya Soekarno-Hatta yang akan harus dia habisi. Semua politisi Indonesia! Dan dapatlah pembaca membayangkan betapa besarnya jumlah kaum politisi Indonesia di akhir zaman Jepang, kalau diingat bahwa kesadaran politik rakyat Indonesia mengalami guncangan yang sangat hebat di sekitar masa kapitulasi Belanda kepada Jepang dan selama masa pendudukan Jepang itu sendiri, sehingga dengan sendirinya jumlah kaum politisi Indonesia melonjak tinggi secara terkejut pula. Apakah gerangan semua itu akan dihabisi oleh Mac Arthur?
Satu-satunya tokoh politik Indonesia yang tidak pernah bekerja sama dengan tentara Jepang adalah almarhum Amir Syarifudin. Semenjak awal pendudukan tentara Jepang di Indonesia dia sudah dijebloskan ke dalam penjara Kamp Pe Tai karena kegiatannya sebagai Pemimpin Anti-Fascist League yang didirikan sebelum Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Tentara Jepang. Ke dalam katagori ini, dapat juga saya golongkan almarhum Tan Malaka yang selalu dicari-cari oleh tentara Jepang, tapi tak pernah dapat tertangkap karena Tan Malaka dapat bersembunyi di tengah-tengah rakyat Banten, menyamar sebagai romusha.
Kaum politisi Indonesia yang lain-lainnya, baik pemimpin maupun anggota biasa dari organisasi politik, tanpa kecuali harus menerimanya bekerja-sama dengan tentara Jepang, Bung Karno, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Mohammad Natsir, Dipa Nusantara Aidit, perwakilan berbagai golongan, termasuk golongan Cina, Arab, Agama, Cendekiawan, Karyawan, Wanita, Pers, Pemuda, semua harus bekerja-sama dengan Tentara Jepang yang berusaha membangun imperium Jepang, yaitu "Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya".
Mereka harus menjalankan perintah Jepang, kalau mereka tidak mau mati konyol dalam tahanan Kamp Pe Tai Jepang, di awal perjalanan memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negerinya. Saya katakan tanpa terkecuali, sebab almarhum Sutan Syahrir yang diriwayatkan memimpin suatu gerakan bawah tanah dan menurut riwayat itu dikenal sebagai tokoh yang tidak sudi bekerja-sama dengan tentara Jepang, sebenarnya juga dipaksa untuk menjadi "Collaborator" Jepang. Karena itulah ia memberikan serangkaian kuliah di salah satu asrama dinas rahasia Jepang di Jakarta, yaitu bagian dari Dai San Ka, Kem Pe Tai di Jalan Defensie lijn van den Bosch (sekarang Jln Juanda), Jakarta.
Tak mungkin gerakan di bawah tanah di Indonesia pada waktu itu dapat berkembang seperti halnya gerakan Partisan Yugoslavia di bawah pimpinan Bros Tito, atau gerakan Partisan Vietcong yang dikendalikan dari jauh oleh Ho Chin Minh beberapa tahun yang lalu.
Akan tetapi andai- kata perubahan itu tidak terjadi, maka Jenderal Mac Arthur tentulah akan berkenalan dan berhadapan dengan kenyataan bahwa tanpa kecuali hampir semua politisi Indonesia adalah "Collaborator" tentara Jepang. Bukan hanya Soekarno-Hatta yang akan harus dia habisi. Sifat gerakan ini tak lebih dari menjalankan luisterpost
gelap, mengumpulkan berita tentang perkembangan perang di daerah Pasifik Barat dan Asia Tenggara. Saya pun melakukan gerakan di bawah tanah dengan cara memonitor secara diam-diam berita-berita dari siaran radio luar-negeri dan melanjutkan berita- berita tersebut kepada pemimpin -pemimpin kita. Inilah yang dapat dikerjakan secara maksimal, lebih dari pada itu belum memiliki kemampuan.
Tak mungkin gerakan di bawah tanah di Indonesia pada waktu itu dapat berkembang seperti halnya gerakan Partisan Yugoslavia di bawah pimpinan Bros Tito, atau gerakan Partisan Vietcong yang dikendalikan dari jauh oleh Ho Chin Minh beberapa tahun yang lalu. Kondisi materi dan situasi medan tidak mengizinkan kita untuk mengacaukan secara efektip dengan gerakan di bawah tanah. Memang pernah terjadi pemberontakan di Blitar oleh beberapa anggota PETA tetapi secara keseluruhan orang-orang Indonesia yang berjuang untuk kemerdekaan tak pernah mendapat kesempatan memiliki senjata.
Sekedar untuk menyegarkan ingatan dan untuk memperoleh gambaran tentang perimbangan antara kekuatan gerakan patriotik dengan kekuatan tentara pendudukan Jepang waktu itu, baik juga barangkali saya singgung sekilas beberapa catatan sejarah tentang pemberontakan yang dengan cepat dapat di sapu bersih oleh tentara Jepang. Baru empat bulan sesudah Jepang berkuasa di tanah air kita ini, serentetan pemberontakan kaum tani tak bersenjata telah terjadi secara setempat-setempat. Tentu saja dan tak ayal lagi dapat didinginkan oleh Jepang dengan sekali tiup.
Diantara pemberontakan-pemberontakan yang sangat menggemparkan selama zaman Jepang adalah apa yang dikenal dengan nama "Pemberontakan Blitar", yang diluncurkan oleh Daidan PETA di Blitar, Jawa Timur. Pemberontakan ini timbul karena rasa dendam dan pilu hati yang tak tertahankan melihat bagaimana nistanya rakyat diperlakukan oleh Jepang, terutama rakyat romusha. Pada bulan Oktober 1944 beberapa perwira PETA di Blitar mencapai kata sepakat dan tekat bulat untuk mengangkat senjata terhadap Jepang. Pembagian tugas lalu diadakan, dan anak buah diberi penjelasan-penjelasan.
Mula-mula direncanakan untuk mengadakan pelatihan-pelatihan bersama dengan sepuluh Daidan lainnya dalam bulan Januari 1945. Akan tetapi rupanya pihak Jepang telah mencium bau kurang enak. Pada tanggal 13 Pebruari 1945 empat orang Syodanco yaitu Soeprijadi, Muradi, Suparyono, Budantiyo, Susanto berkonsultasi dan memutuskan untuk mulai mengadakan pemberontakan. Keesokan harinya pukul 3 malam senjata dan peluru dibagi-bagikan, barisan-barisan disiapkan, serangan dibuka dengan mortir berat diarahkan ke Hotel Sakura, dimana ada perwira-perwira Jepang. Pemberontakan ini telah membinasakan semua orang Jepang di Blitar.
Markas besar Jepang di Surabaya dan Jakarta terkejut. Bala bantuan untuk menindas pemberontakan itu secara kilat didatangkan dari Surabaya dan Malang. Pengoperasian penindasan pemberontakan dipimpin oleh Kolonel Katagari yang telah memiliki banyak pengalaman bertempur. Daidan Blitar diduduki, pengejaran dilakukan, penindasan dilaksanakan. Akhirnya pemberontakan itu dapat dipadamkan oleh Jepang sampai ke akar-akarnya-sudah barang tentu secara fisik.
Demikianlah sekedar untuk memperoleh gambaran sampai ke mana aksi di bawah tanah dapat dilakukan dengan berhasil di zaman pendudukan Jepang.
Lagi pula tentara Jepang - sebelum menyerbu ke daerah jajahan Belanda di Asia Tenggara - sudah diperlengkapi dengan segala macam dossier, lengkap dengan segala daftar nama tokoh-tokoh politik Indonesia beserta riwayat hidup mereka. Dosier-dosier semacam itu sudah semejak lama direncanakan dan disiapkan antara lain oleh mata-mata Jepang yang tak kecil jumlahnya, kebanyakan bertopeng sebagai pemilik toko Jepang, foto studio Jepang, toko alat-alat sport Jepang dan sebagainya, yang pada waktu itu sudah tersebar diberbagai kota Indonesia.
Perlu pula diketahui bahwa dalam usaha mengkonsolidasi posisinya di bidang sipil, tentara pendudukan Jepang telah pula mendaratkan karyawan-karyawan sipil Jepang yang terkenal dengan nama karyawan "Sakura". Kebanyakan di antara mereka ini mahir berbahasa Indonesia, bahkan juga menguasai bahasa Belanda. Ternyata sebagian besar dari mereka ini adalah mantan pemilik toko -toko Jepang yang sudah beroperasi di zaman Belanda sebagai barisan pelopor yang terselubung dalam rencana Jepang untuk melakukan penetrasi ke daerah selatan Asia Tenggara.
Dengan adanya jaringan mata-mata Jepang yang sudah berurat-berakar dan teratur rapi di Indonesia - saat Belanda masih berkuasa di negeri ini - maka pengetahuan tentara pendudukan Jepang mengenai situasi dalam negeri Indonesia sudah sangat luas dan mendetail sekali, di luar dugaan dan pengetahuan Belanda yang memliki administrasi kepemerintahan yang terkenal rapi juga. Jepang-Jepang itu mengetahui dengan tepat di mana letak gudang beras, di mana tempat pusat perlengkapan senjata Belanda, di mana dan siapa tokoh-tokoh politik Indonesia yang perlu digarap. Dengan pengetahuan yang sudah lama disiapkan, maka satu per satu, seorang demi seorang dari tokoh-tokoh politik Indonesia diciduk dan dipaksa kerjasama dengan Tentara Dai Nippon.
Dengan kenyataan bahwa tidak ada tokoh politisi yang tidak bekerja sama dengan tentara Jepang, maka saya kira sulit bagi Jenderal Mac Arthur - andaikata dia jadi mendarat di Indonesia - untuk melaksanakan rencananya menyeret semua "kolaborator" Indonesia ke pengadilan perang, kecuali kalau memang sebagian besar dari politisi Indonesia akan dihabisi. Tapi rencana itu dibatalkan oleh timbulnya perjanjian Postdam yang menentukan bahwa tim Inggrislah yang yang harus bertugas menormalisasi situasi di Asia Tenggara.
. . . . . . . . . . ada pula kesibukan Belanda di Bribane, Australia. Dua tokoh kawakan Belanda di zaman Hidia Belanda yaitu van Mook dan Van der Plas, yang menduduki tempat pertama dan kedua di dalam hirarki pemerintahan kolonial Belanda yang mengungsi ke Brisbane,
Perlu diketahui bahwa tugas-tugas South East Asia Command yang harus diselesaikan di Asia Tenggara itu antara lain adalah mengembalikan tentara Jepang - yang jumlahnya di Indonesia saja mencapai 283,000 orang - ke tempat asalnya, membebaskan tahanan perang Sekutu, memulihkan keamanan di Asia Tenggara sampai daerah itu dikembalikan kepada si pemilik masing-masing. Indonesia dikembalikan kepada Belanda, Indo-China ke Perancis, tanah semenanjung Melayu, Singapura, dan daerah-daerah di bagian utara Kalimantan ke Inggris, sedangkan Timor Dilly kepada Portugis. Itulah rencana tugas South East Asia Command yang ditentukan dalam persetujuan Postdam pada bulan Juli 1945.
Sementara itu pada tanggal 24 Juli 1945 pemerintah Belanda di Nederlqnd telah berhasil menyusun apa yang disebut NICA (Netherlands East Indies Civil Affairs). Badan Urusan Sipil Hindia Belanda, yang disiapkan untuk menerima kembali kekuasaan sipil di Indonesia dari tentara Inggris. Pembentukan NICA itu di diadakan di Brabant, sebuah propinsi di bagian selatan Nederland, di mana telah dapat dikumpulkan relawan sipil Belanda sejumlah 50.000 pria dan 12.000 wanita untuk segera diberangkatkan ke Indonesia.
Sementara itu pada tanggal 24 Juli 1945 pemerintah Belanda di Nederlqnd telah berhasil menyusun apa yang disebut NICA (Netherlands East Indies Civil Affairs). Badan Urusan Sipil Hindia Belanda, yang disiapkan untuk menerima kembali kekuasaan sipil di Indonesia dari tentara Inggris. Pembentukan NICA itu di diadakan di Brabant, sebuah propinsi di bagian selatan Nederland, di mana telah dapat dikumpulkan relawan sipil Belanda sejumlah 50.000 pria dan 12.000 wanita untuk segera diberangkatkan ke Indonesia.
Disamping itu di bidang ketentaraan, Pemerintah Belanda di Nederland juga sudah mendidik pemuda-pemuda Belanda menjadi tim khusus melalui pelatihan ketentaraan luar biasa di Inggris. Pelatihan ini menghasilkan dua macam pasukan Belanda yang dapat diandalkan dan yang diperlengkapi dengan segala macam senjata mutakhir pada waktu itu. Yang pertama disebut Gezachts Battalion dan yang kedua disebut Expeditionaire Machten. Merekapun sudah siap untuk diberangkatkan ke Indonesia sejak tanggal 24 Juli 1945.
Selain persiapan-persiapan yang ada di negeri Belanda itu, ada pula kesibukan Belanda di Bribane, Australia. Dua tokoh kawakan Belanda di zaman Hidia Belanda yaitu van Mook dan Van der Plas, yang menduduki tempat pertama dan kedua di dalam hirarki pemerintahan kolonial Belanda yang mengungsi ke Brisbane, juga sudah bersiap-siap untuk kembali ke Indonesia.
Untuk sidang pembaca dari generasi baru ada baiknya disinggung sedikit siapa van Mook ini. Dia seorang Belanda Indo itu termasuk - kalau dilihat dari sudut pandang Belanda totok - seorang yang istimewa karena dapat mencapai posisi yang paling tinggi di Daerah Pemerintah Sebrang Samudera (Hindia Belanda) yakni sebagai Letnan Gubernur Jenderal, seorang pejabat Mahakuasa yang memiliki suatu hak yang tak dapat diganggu-gugat yaitu yang dinamakan exorbitante rechten.
Dalam bulan Maret 1942 Van Mook melarikan diri ke Australia dalam jabatannya sebagai Letnan Gubernur Jenderal itu. Dalam bulan Mei berikutnya Letnan Gubernur Jenderal yang melarikan diri ini diangkat menjadi Menter Urusan Koloni. Pada tanggal 14 Desember 1944 ia diangkat kembali menjadi Letnan Gubernur Jenderal untuk Hindia Belanda meskipun ia sendiri berada di Australia. Tugasnya selama di Australia itu terutama untuk merencanakan dan mempersiapkan kembalinya pemerintah koloni Hindia Belanda. Sejak tahun 1948 dialah yang memimpin perundingan-perundingan dengan pihak Republik . Setelah kemudia ia merasa kebijaksanaannya dilangkahi oleh pemerintah Belanda di Den Haag, maka pada tanggal 25 Oktober 1948 minta berhenti
Itulah rencana fihak Sekutu yang tampak cukup rapi dan detail di atas kertas, tetapi kemudian ternyata terbentur dan gagal dalam pelaksanaannya. Alasan utama dari kegagalan rencana itu terletak pada kecerobohan pemikiran yang tidak memperhitungkan dan tidak mau tahu tentang adanya unsur baru yang timbul dalam area politik Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Bagi Inggris sendiri memang sudah diperkirakan bahwa daerah-daerah jajahannya di semenanjung tanah Melayu, Singapura, dan di Kalimantan bagian Utara akan dapat segera dikuasainya kembali. Di daerah-daerah tersebut tidak ada gerakan nasional yang cukup kuat untuk menggalang potensi menuju ke arah pembebasan dari kekuasaan Inggris.
Tetapi pihak Belanda seharusnya sudah bisa mengira-ngira dan memperhitungkan bahwa kedatangan mereka kembali ke Indonesia pasti tidak akan diterima dengan tangan terbuka. Gerakan Nasional Indonesia yang sudah begitu keras di zaman sebelum pecah perang dunia kedua seharusnya sudah dapat mereka pakai sebagai ukuran bahwa rakyat Indonesia tidak mau lagi hidup di bawah suatu penjajahan, apakah penjajahan oleh Belanda, oleh Jepang ataupun siapa saja, selama namanya penjajahan. "Zaman berubah, musim beralih" kata pepatah. Segalanya di dunia yang fana ini bergerak melalui proses perubahan. Tak ada yang tinggal tetap sebagaimana adanya kemarin, lalu demikian pula besuk, lusa dan seterusnya. Batu sekalipun melalui proses perubahan. Ini adalah hukum Tuhan. Apa dan siapa yang tak mau mengikuti proses perubahan itu, pasti dimakan oleh hokum axioma Tuhan itu.
Dan Belanda rupanya menghitung dan mengartikan, bahwa bangsa Indonesia yang dijajahnya selama 350 tahun dan kemudian diserahkan bulat-bulat ke tangan fascism Jepang dan ditinggalkannya, akan tetap berupa bangsa Indonesia seperti yang dulunya itu juga setelah perang dunia kedua, tanpa mengalami proses perubahan. Bangsa Indonesia yang dikenalnya dan dikatakannya sebagai "het zachste volk der Aarde" (bangsa yang paling lunak di dunia) dikiranya masih akan tetap bangsa Indonesia seperti itu juga yang akan didapatinya kembali sesudah perang dunia kedua. Dia kecele!
. . . . . . . . . . Habis ditenggelamkan tim Kamikaze-nya Jenderal Terauchi, sehingga sulit sekali bagi tim Inggris untuk bisa bergerak cepat maju. Dalam sejarah perang Jepang, pasukan Kamikaze (angin dewata) bukanlah hal yang baru. Pasukan Kamikaze pulalah yang menghancurkan armada Kubilai Khan dalam tahun 1281, yang hendak menyerbu Jepang.
Jenderal Terauchi |
Siasat perang Jenderal Terauchi inilah yang melumpuhkan angkatan laut Inggris di bagian barat medan pertempuran Asia Tenggara. Hampir semua kapal sekutu di wilayah perang itu habis ditenggelamkan tim Kamikaze-nya Jenderal Terauchi, sehingga sulit sekali bagi tim Inggris untuk bias bergerak cepat maju. Dalam sejarah perang Jepang, tim Kamikaze (angin dewata) bukanlah hal yang baru. Pasukan Kamikaze pulalah yang menghancurkan armada Kubilai Khan dalam tahun 1281, yang hendak menyerbu Jepang.
Dengan pengrobanan yang luar biasa, akhirnya tim Jenderal Mountbatten dapat membebaskan Birma dari pendudukan tentara Jepang. Dengan prestasinya di Birma itu, ia mendapat imbalan dari Raja Inggris berupa tambahan titel: Lord Mountbatten of Birma. Akan tetapi sesudah operasi di Birma itu selesai, tim Inggris lama terkatung-katung dan tak dapat bergerak cepat ke jurusan tenggara karena tidak ada transportasi melalui laut , dan oleh karena itu daerah-daerah jajahan Inggris yang terletak di semenanjung Malaya, Singapura, dan di bagian utara Kalimantan masih tetap berada di bawah kekuasaan Jepang.
Dalam pada itu Jenderal Mac Arthur yang memimpin pasukan Sekutu di bagian timur Asia Tenggara berhasil menduduki Philipina, Irian Barat, Morotai, Tarakan, dan Balikpapan. Pejuang-pejuang nasionalis Philipina diseret ke pengadilan tentara sekutu dan dinyatakan sebagai penjahat perang.
Di kawasan Indonesia kekuasaan tentara Jepang masih utuh, tetapi Jakarta pada saat itu secara politis sudah dikuasai oleh pejuang-pejuang kemerdekaan di bawah pimpinan Bung Karno. Di daerah Indo-China ada pula pejuang-pejuang nasionalis di bawah pimpinan Ho Chi Min, yang sudah mempersiapkan diri untuk melawan dan menolak kembalinya kolonialisme Prancis di Vietnam.
Ribuan mil dari wilayah perang Asia Tenggara ini, pemerintah Belanda baik yang di Nederland maupun yang dalam pelarian di kota Brisbane, juga sudah siap memberangkatkan tim dan karyawan mereka, tetapi tertunda-tunda akibat tidak adanya transportasi melalui laut.
Demikianlah peta situasi dalam medan pertempuran di kawasan Asia Tenggara pada saat-saat Jepang akan dipaksa mengakhiri ambisinya membentuk imperium baru yang disebut Greater East Asia Co-Prosperity Sphere - Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.
Menurut pengamatan pihak Sekutu, kemampuan atau daya perang Jepang pada waktu itu yang digerakkan dan dikomandoi oleh Jendera Terauchi dari Saigon, masih akan bisa bertahan sampai akhir tahun 1945, dengan menjalankan siasat jibaku dan mandiri. Ini memang merupakan pilihan antara hidup atau mati, pilihan to be or not to be bagi Jenderal Terauchi, karena hubungan antara pasukannya di Asia Tenggara dengan induknya di Tokyo sudah dipotong semenjak Okinawa diduduki oleh Tim Jenderal Mac Arthur pada tanggal 1 April 1945.
Sementara itu perjanjian Postdam yang menampilkan Lord Mountbatten of Burma di puncak kekuasaan Sekutu di Asia Tenggara cukup memberikan pertanda bagi pemeritah Belanda untuk merasa was-was, khawatir dan curiga terhadap kemungkinan pemerintah Inggris akan menguraikan politik yang bertentangan dengan politik Sekutu seperti yang digariskan dalam persetujuan Postdam . Tapi yang memiliki kecurigaan ini bukanlah Belanda saja. Jenderal Mac Arthur sendiri merasa tersinggung dan tertipu oleh ketentuan-ketentuan baru yang digariskan di dalam persetujuan Postdam.
Sebetulnya memang ada dasarnya mengapa pemerintah Belanda dan Jenderal Mac Arthur menaruh kecurigaan terhadap permainan Jenderal Lord Mountbatten of Burma. Perlu diingat bahwa dalam peperangan "Asia Timur Raya" yang diluncurkan oleh Jepang, gengsi Inggris sebagai satu imperium raksasa di kawasan Asia sudah sangat menurun dan dangat memalukan. Untuk memulihkan kerusakan dan menutupi rasa malu itu, timbul kemauan keras dari Jenderal Mountbatten mengembalikan wibawa dan kehormatan Inggris di Asia, antara lain dengan menguasai daerah Asia Tenggara bilamana Jepang sudah menyerah.
Dari dokumen-dokumen tua yang ada di negeri Belanda dapat diketahui bahwa kekhawatiran pemerintah Belanda terhadap permainan Lord Mountbatten jelas sekali, tetapi Belanda tidak dapat berbuat apa-apa karena ia waktu itu memang sudah tidak memiliki peran sama sekali di medan pertempuran Asia Tenggara. Bahkan sisa -sisa tim Belanda pun tidak ada di Asia Tenggara yang akan dapat diikut-sertakan di dalam operasi Jenderal Mountbatten. Bisa dikatakan semua tentara Belanda secara bulat sudah meringkuk dalam tahanan Jepang.
. . . . . . .. Pasukan Sekutu di bawah pimpinan Jenderal Mountbatten itu mendadak dikejutkan oleh pergolakan di Indonesia dengan peristiwa proklamasi kemerdekaannya beserta segala kegiatan politik dan kemiliteran yang bersangkutan dengan itu.Pernyataan kemerdekaan yang diucapkan oleh Proklamator Kemerdekaan Bung Karno dan didampingi ole Bung Hatta.
Akan tetapi di lain pihak Belandapun merasa sangsi apakah Jenderal Mac Arthur sebagai pemimpin pasukan Amerika di kawasan Pasifik Barat Daya akan bisa menjamin kepentingan Belanda di Indonesia andai kata Jenderal Amerika inilah yang diberi tugas dan wewenang untuk menguasai Asia Tenggara setelah menyerahnya Jepang kepada Sekutu. Yang mereka takutkan adalah sikap pemerintah Amerika yang menurut penilaian Belanda pada waktu itu sangat keras memperlihatkan politik anti kolonialnya. Jadi pada saat-saat di sekitar akhir bulan Juli 1945 itulah Pemerintah Belanda merasa sangat terobang-ambing oleh perasaan tidak menentu, sampai akhirnya harus menerima kenyataan bahwa nasib mereka sebagai pemilik imperium di Asia Tenggara sangat tergantung dari sikap pribadi Lord Mountbatten.
Ledakan "Bom Atom" |
Akan tetapi Pasukan Sekutu di bawah pimpinan Jenderal Mountbatten itu mendadak dikejutkan oleh pergolakan di Indonesia dengan peristiwa proklamasi kemerdekaannya beserta segala kegiatan politik dan kemiliteran yang bersangkutan dengan itu. Pernyataan kemerdekaan yang diucapkan oleh Proklamator Kemerdekaan Bung Karno dan didampingi oleh Bung Hatta menempatkan posisi tentara sekutu di dalam situasi rumit. Secara fisik tentara Sekutu tak dapat cepat bergerak ke Indonesia setelah Jepang menyerah. Maka timbullah suatu vakum di Indonesia di mana Jepang sebagai pihak yang kalah sudah tidak berwenang untuk bergerak, akan tetapi tentara Sekutu belum kunjung tiba. Maka kesempatan yang terlowong ini dimanfaatkanlah oleh pejuang-pejuang Indonesia untuk menyatakan diri sebagai bangsa dan Negara yang merdeka, bebas dari segala belenggu kolonialisme.
Bagi Indonesia kesempatan itu bukanlah suatu kesempatan yang kebetulan, bukanlah suatu a blessing in disguise, akan tetapi suatu kesempatan yang memang sudah sejak lama ditunggu-tunggu. Dan pemanfaatan kesempatan itu bukanlah pula dilakukan secara semberono, akan tetapi rapi, layanan, dan khusuk., Karena sudah sejak lama pula persiapan diolah dan dimatangkan untuk itu. Manifestasi ini semua tercermin dalam satu Deklarasi yang dicetuskan beberapa hari menjelang proklamasi kemerdekaan oleh para cerdik- cendekiawan yang dihormati dan dijunjung bangsa yakni Soekarno-Hatta-Maramis-Abikusno-Kahar Muzakir-Agus Salim -Subardjo-Wachid Hasyim-Yamin: Deklarasi Jakarta ini al berbunyi:
"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Dan perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat Rahmat Allah yang Maha Kuasa, yang dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka Rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya ".
Deklarasi ini merupakan suatu disiplin, suatu komitmen ke dalam, suatu janji dan janji kepada diri sendiri, belum keluar. Barulah setelah deklarasi ini mengalami proses penempatan selama lebih kurang tiga minggu, akhirnya ia meningkat menjadi satu Proklamasi dengan segala komitmen kemanusiaan dan keadaban, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap dunia luar. Maka pada tanggal 17 Agustus 1945, pukul 10.00 pagi, di gedung Pegangsaan Timur nomor lima puluh enam, berdirilah Bung Karno didampingi Bung Hatta menginformasikan dengan penuh kesyahduan ke seluruh jagad yang menyatakan:
"KAMI BANGSA INDONESIA DENGAN INI MENYATAKAN KEMERDEKAAN INDONESIA, HAL-HAL YANG TENTANG PEMINDAHAN KEKUASAAN DAN LAIN-LAIN diselesaikan dengan cara seksama DAN DALAM TEMPO sesingkat-singkatnya".
Atas nama bangsa Indonesia
Atas nama bangsa Indonesia
SUKARNO-HATTA
Dengan itu lahirlah satu Negara Republik Indonesia secara sah, dan. ....... Pada tanggal 28 September 1950 - setelah tidak ada satupun lagi yang mengkhawatirkan dan meragukan - diterimalah ia (Negara Kesatuan Republik Indonesia) menjadi anggota keluarga besar kerukunan seluruh bangsa (Perserikatan Bangsa-Bangsa).
*
Revolusi Nasional Indonesia yang dimulai pada tahun 1945 dan berakhir lima tahun kemudian, pada hakekatnya tidak jauh berbeda dengan Revolusi Nasional Amerika yang dimulai pada tahun 1776 dan berakhir juga lima tahun kemudian (Adam Malik).
*