Senin, 10 April 2017

Terusan KRA

Ngunandiko. 122





Terusan KRA


Pada waktu ini – awal abad ke-21 – di bumi telah ada  dua terusan (canal) buatan yang menghubungkan dua samudra yaitu Terusan Panama (Panama Canal) dan Terusan Suez (Suez Canal), masing-masing menghubungkan Samudera Pacifik dengan Samudera  Atlantik, dan Laut Merah dengan Laut Tengah. Pada kesempatan ini “Ngunandiko” ingin membahas dan merenungkan "Terusan KRA" yang direncanakan akan dibangun untuk menghubungkan Samudera Hindia (laut Andaman) dengan Samudera Pacifik (laut China Selatan).


Terusan KRA ini akan  memotong  jalur pelayaran dari Samudera Hindia ke Samudera Pasifik tanpa melewati selat Malaka, sehingga mempersingkat rute pelayaran. Lokasi terusan KRA  direncanakan  berada di wilayah tanah  genting (sempit) di Thailand Selatan, panjangnya sekitar 100 km, lebar 400 meter, dengan kedalaman lebih dari 20 meter. Pembangunan terusan tersebut diperkirakan memakan waktu sekitar  8 tahun dengan biaya  pembangunannya lebih dari  US $ 30 milyar.
Idea pembangunan Terusan KRA ini, pertama kali diusulkan oleh  Raja Narai dari Siam (Thailand),  sekitar tahun 1677. Kemudian idea pembangunan terusan tersebut timbul dan tenggelam seiring dengan perkembangan kepentingan politik yang melatarbelakanginya.
Timbul dan tenggelamnya idea pembangunan terusan KRA tersebut dari waktu ke waktu antara lain dapat digambarkan oleh peristiwa-peristiwa sebagai berikut :
  • Pada tahun 1677. Waktu itu Raja Ayuthia, Narai meminta De Lamar (seorang ahli berkebangsaan Perancis) membuat kajian pembangunan terusan (canal)  yang akan menghubungkan  di bagian selatan Thailand dengan Burma (Myanmar). Namun teknologi yang ada waktu itu tidak mendukungnya.
  • Pada tahun 1793 dengan tujuan untuk memudahkan kapal-kapal perang Thailand melindungi pantai barat Siam,  Raja Chakri (Rama I) bermaksud membangun terusan yang menghubungkan pantai barat Siam (laut Andaman) dengan teluk Siam. Idea ini tidak terlaksana.
  • Perjanjian  Inggris dengan Thailand  pada tahun 1946 “Anglo-Thai Treaty” melarang pemerintah Siam untuk membangun terusan tersebut, karena dapat mengganggu kepentingan Singapura (koloni Inggris) sebagai negara di rute persinggahan kapal.
  • Pada sekitar tahun 1950 dan 1970 Jepang berminat untuk ikut serta membangun proyek terusan KRA  tersebut, hal ini untuk menjaga lancarnya pasokan minyak dari Timur Tengah Namun kemudian rencana itu terhenti.
  • Pada akhir abad ke 20 dan awal abad ke-21, didorong oleh kebangkitan ekonomi China pada satu dekade terakhir ini, maka China berencana ikut serta  dalam proses pembangunan terusan KRA.   Pakdee Tanapura (pengusaha, anggota  komite Terusan KRA)  mengatakan kepada The Strait Times bahwa  terusan KRA   tersebut dapat menjadi bagian dari konsep “Maritime Silk Road” yang digagas oleh China yang bertujuan untuk meningkatkan konektivitas dan perdagangan melalui Laut China Selatan serta memperbesar arus pengiriman logistik antara Asia Timur dan Eropa atau sebaliknya.
Seperti diterangkan dimuka  idea membangun terusan KRA yang membelah tanah genting di Thailand Selatan itu, sesungguhnya telah ada semenjak tahun 1677. Waktu itu Raja Ayuthia, Narai meminta De Lamar (seorang ahli berkebangsaan Perancis) membuat kajian pembangunan terusan (canal)  yang akan menghubungkan Songkhla (provinsi di bagian selatan Thailand) dan Marid (Myanmar sekarang). Namun kajian De Lamar itu menyatakan bahwa teknologi yang ada waktu itu tidak mendukungnya.
Pada tahun 1793, idea itu kembali diutarakan oleh adik bungsu Raja Chakri (Rama I), dengan tujuan untuk memudahkan kapal-kapal perang Thailand melindungi pantai barat Siam. Namun idea itu tidak terlaksana.
Pada abad ke–19 (tahun 1863), setelah Burma (Myanmar sekarang)  menjadi jajahan Inggris,   British East India Company (Syarikat Hindia Timur Inggris) berminat membangun terusan KRA  di Kawthaung (Victoria Point).  Seperti diketahui  Kawthaung adalah bagian paling selatan Burma (Kawthaung is in the southernmost part of Myanmar, located in Taninthary Region. During British rule in Burma between 1824 and 1948, it was known as Victoria Point ). Namun nimat membangun “Terusan KRA”  itu batal karena Kekaisaran Inggris cenderung mengembangkan Singapura.
Dapat dikemukakan pula disini bahwa pada tahun 1882, Ferdinand de Lesseps (pembangun Terusan Suez ) pernah meninjau kawasan KRA tersebut, namun atas arahan Raja Siam, Ferdinand de Lesseps dilarang melakukan penyelidikan lebih dalam. Arahan Raja Siam tersebut diduga karena pengaruh Inggris. Pada tahun 1897 “Kerajaan Siam” dan “Kekaisaran Inggris” sepakat untuk tidak membangun “Terusan KRA” guna melindungi pelabuhan Singapura.
“KRA Canal” atau “Terusan KRA”, mengacu pada proposal pembangunan kanal yang menghubungkan Teluk Thailand dengan Laut Andaman akan memberi alternatif  tranpor tanpa melalui “Selat Malaka”. Hal itu berarti akan memperpendek jalur tranpor  pengiriman minyak dari negara-negara “Teluk” ke negara-negara “Asia Timur” seperti Jepang dan China sepanjang lk 1.200 km, dan menghemat banyak waktu. China menyebut adanya terusan KRA  sebagai bagian dari abad maritim 21 nya Silk Road. China tertarik pada proyek terusan KRA  karena alasan strategis yaitu memperpendek jarak, menghemat waktu, dan mengurangi ongkos transpor. Seperti diketahui saat ini sekitar 80%  pasokan minyak bumi  China berasal dari Timur Tengah dan Afrika melewati Selat Malaka. Disamping itu China telah lama mengakui bahwa dalam potensi konflik  dengan rival-rivalnya, terutama dengan Amerika Serikat, Selat Malaka dapat dengan mudah diblokade, untuk memotong garis hidup minyaknya. Presiden China Hu Jintao (2003 – 2013) bahkan menciptakan istilah untuk resiko blokade itu  sebagai "MALAKA  DILEMA".

Selain hal-hal tersebut diatas (blokade dll) dan alasan-alasan lainnya ; jika “Terusan KRA”  ingin dibangun, maka study pembangunannya perlu dilakukan secara mendalam (comprehensive),  khususnya yang mencakup  aspek-aspek penting sbb :
  • teknik-tehnologi, misalnya : pemilihan lokasi, teknik penggalian, kemungkinan adanya perluasan dll.
  • politik, misalnya : kemungkinan adanya fihak-fihak yang menentang, gangguan keamanan, pemanfaatan oleh fihak-fihal yang konflik dll;
  • ekonomi, misalnya : perkiraan besarnya investasi, sumber-sumber pembiayaan, tarif   dll.
Lebih lanjut dari aspek teknik-tehnologi itu, agar pembangunan dan operasi “Terusan KRA” ini dapat berjalan lancar sesuai dengan yang diharapkan, maka harus memperhatikan hal-hal sbb :
  • Pemilihan letak terusan ( kedekatan dengan fasilitas-fasilitas pembangunan, kemudahan memperoleh tenaga kerja, jarak terusan sependek mungkin, keamanan dll) ;
  • Pemilihan teknik pembangunannya (manajemen konstruksi, teknik penggalian—dengan ledakan TNT atau ledakan nuklir, tempat pembuangan galian, dll);
  • Pengoperasian terusan ( manajemen operasi, mesin dan alat-alat yang dipakai dll) ;
  • Pengawasan terusan (rambu-rambu, penerangan-lighting, mesin dan alat-alat yang dipakai, dll) ;
  • Perawatan terusan ; (jadwal perawatan, tenaga perawatan, mesin dan alat-alat yang dipakai, dll) ;
  • Kemungkinan Perluasan ;
  • Lain-lain.

Tentang aspek teknik-tehnologi, politik, dan ekonomi yang berkaitan dengan dampak pembangunan “Terusan KRA” ini antara lain dapat digambarkan lebih lanjut secara singkat sbb :
  • Diperkirakan specifikasi terusan KRA ini : (1) panjang 100 km ; (2) lebar 400 meter ; (3) kedalaman 20 meter ; (4) masa konstruksi lk 10 tahun ; dan (5) investasi lk 30 miliar dolar AS.
  • Negara-negara yang berkepentingan atas kanal atau terusan KRA ini yaitu : (1) Thailand ; (2) Myanmar ; (3) Malaysia ; (4) ;  China ; (5) Jepang dan lain-lain. Bagi negara-negara No. (4) China dan No. (5) Jepang, dengan adanya “Terusan KRA” akan memperlancar lalu lintas pasokan energi dan pemasaran hasil industrinya.
  • Jika pembangunan “Terusan KRA”  ini terealisasi, maka Selat Malaka hanya akan dilewati oleh sedikit kapal-kapal internasional, yang akan didominasi oleh kapal-kapal yang membawa barang-barang ke Indonesia. Dengan situasi seperti itu, maka industri maritim Singapura (kiranya juga industri maritim Indonesia di Batam)  akan kehilangan pasar, padahal bagi Singapura pendapatan industri maritim ini   mencapai 5 - 10 persen dari total pendapat negara kota tersebut.
  • Sesungguhnya Indonesia, Malaysia dan Singapura sudah sepakat bekerjasama dalam pengelolaan perairan  Selat Malaka itu. Namun Indonesia tampaknya  belum melakukan antisipasi terhadap adanya rencana pembangunan “Terusan KRA”  ini. Kiranya Indonesia harus melakukan antisipasi secara serious, karena bagaimanapun juga adanya  “Terusan KRA”  akan berdampak terhadap ekonomi Indonesia, baik positip maupun negatip, terutama terhadap masa depan Batam
  • Sebelum “Terusan KRA”  beroperasi, Singapura dengan fasilitas pelabuhan yang telah dimilikinya memperoleh keuntungan sangat besar, khususnya keuntungan dari lalulintas laut  Samudera Hindia ke Samudera Pasifik dan sebaliknya. Dengan adanya “Terusan KRA” keuntungan itu sudah barang tentu akan berkurang, Namun sesungguhnya Singapura—dengan fasilitas-fasilitas dan pengalaman yang telah dimilikinya masih memiliki kenggulan lain yang juga memberi keuntungan seperti keunggulannya dalam jasa pelayanan keuangan, jasa pelayanan penerbangan dan lain-lain.
  • Mengingat letak Terusan KRA”  itu berdekatan dengan sejumlah wilayah dan kota-kota di Thailand, Myanmar, Malaysia dan lain-lain, maka dampaknya  pada masa konstruksi maupun pada masa operasi  nanti pasti akan terasa. Pemerintah negara-negara tersebut harus memperhitungkan hal itu.
  • Dampak “Terusan KRA” ini  pada masa operasi nanti terhadap kota-kota disekitar Samudra Hindia dan Teluk Siam seperti : Rangoon, Calcuta, Mumbai, Kolombo, Dhaka, Maladewa (Maldive), Banda Aceh, Penang, Phom Peng, Ho Chi Min City (Saigon), Bangkok, Hongkong dll  pasti akan terasa. Dampak itu akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan sosial kota-kota tersebut.
  • Indonesia adalah “hinterland” Singapura, dengan adanya “Terusan KRA” ini membawa Indonesia lebih mudah untuk membebaskan dirinya dari posisi “hinterland” tersebut. Namun adanya “Terusan KRA” ini juga dapat  mengancam position Indonesia sebagai gerbang utama “Center of Gravity” ekonomi politik maritim  Asia. Oleh karena itu Indonesia perlu merumuskan suatu strategi untuk menangkal dampak  buruk dari adanya “Terusan KRA”. Strategi itu  perlu dilihat dalam hubungannya dengan agenda  “Poros Maritim Dunia” Presiden RI, Joko Widodo ke depan.
 Sebelum menutup bahasan dan renungan singkat tentang “Terusan KRA” ini ingin disampaikan hal-hal sbb :
  • Sesungguhnya telah lama Kerajaan Thailand (Narai) meneliti kemungkinan membangun terusan KRA ini. Pada tahun 1793 idea pembangunan terusan KRA telah  diutarakan oleh  Raja Chakri (Rama I) dengan tujuan untuk memudahkan kapal-kapal perang Thailand melindungi pantai barat Siam. Idea itu tidak terlaksana. ;.
  • Inggris guna melindungi kepentingan Singapura (koloni Inggris) sebagai negara yang merupakan rute persinggahan kapal yang melewati Selat Malaka, pada tahun 1946 (tepat setelah Perang Dunia II) telah mengadakan perjanjian dengan Thailand “Anglo-Thai Treaty”.  Perjanjian tersebut melarang pemerintah Thailand (Siam) membangun “Terusan KRA”. Dapat dikemukakan disini bahwa “Selat Malaka” merupakan jalur pelayaran dan jalur perdagangan (minyak) internasional paling sibuk kedua di dunia setelah “Selat Hormuz”; 40 persen pelayaran perdagangan dunia melewati selat tersebut.
  • Pada sekitar tahun 1950 dan 1970 Jepang juga ingin ikut serta dalam rencana pembangunan ”Terusan KRA”. Hal ini dilatarbelakangi oleh kemajuan industri Jepang (setelah Perang Dunia II) yang memerlukan pasokan energi (minyak bumi) dari Timur Tengah dan perluasan pemasaran hasil industrinya.
  • Pada awal abad ke-21, dengan alasan memperpendek jarak, menghemat waktu, dan mengurangi ongkos transpor pasokan minyak dari Timur Tengah (jika dibandingkan dengan melewati Selat Malaka), maka China telah menyokong  dibangunnya “Terusan KRA”. Disamping itu China  mengakui bahwa dalam potensi konflik  dengan rival-rivalnya—terutama konflik dengan Amerika Serikat, “Selat Malaka” dapat dengan mudah diblokade, untuk memotong garis hidup minyaknya. Presiden China Hu Jintao (2003 – 2013) bahkan menciptakan istilah untuk resiko blokade ini,   sebagai "MALAKA DILEMA".
  • Indonesia adalah hinterland Singapura, dengan adanya ”Terusan KRA” ini Indonesia dapat lebih mudah membebaskan dirinya dari posisi hinterland tersebut. Namun dilain fihak adanya “Terusan KRA”  dapat mengancam bergaining position Indonesia sebagai gerbang utama “Center of Gravity” ekonomi politik maritim Asia.

Demikianlah renungan dan bahasan singkat tentang "Terusan KRA", semoga bermanfaat.
*

Between 1945 and 1965, the number of colonial people ruled by the British monarch plunged from 700 million to five million. In 1956, just three years after the coronation, the Suez canal crisis and Anthony Eden's humiliation ended all notions that Britain was a world superpower (Kate Williams ; British Historian).