Sabtu, 30 Juli 2016

Dialektika.3 (penutup)

Ngunandiko.105



DIALEKTIKA
(bagian ke-3)

Contoh semacam ini tentulah dengan gampang bisa digali dari sejarah Dunia, terutama sejarah Inggris, Perancis, Rusia dan lain-lain. Menurut Tan Malaka tak ada salahnya jika kita meninjau ke masyarakat mereka (Inggris dll), walaupun dimata kita (y.i dimata bangsa-bangsa yang terjajah) mereka sekarang telah (terutama setelah Perang Dunia II) sangat turun derajatnya. Namun tiada sifat kita, cuma mengemukakan yang busuk-busuk saja dari mereka.

Kanal di Belanda
Sebagaimana diketahui sudah berabad-abad Lautan Utara yang dahsyat itu mengancam penduduk Tanah-rendah—lebih rendah dari pada muka laut  Nederland. Berapa korban yang mesti diberikan untuk menduduki tanah berbahaya, tetapi subur itu. Demikianlah Sang Samudra mendidik Belanda menjadi pelayar, penangkap ikan dan akhirnya penjajah yang berani, tabah, dan insinyur air yang tak ada bandingannya di dunia. Setelah negara Belanda berdiri, maka kepintaran orang-orang Belanda itu dipakai buat menguasai lautan itu. Mereka tiada senang dengan dijknya (tanggul), pantai-lautnya saja dan tanah subur yang dilindungi oleh dijk (tanggul),  yang kukuh itu, melainkan Belanda  dengan Ilmu Airnya yang tinggi mengeringkan laut Zuiderzee  (Zuiderzee was a shallow bay of the North Sea in the northwest of the Netherlands) menjadi Propinsi yang baru. Tampak bahwa  disini si pendidik dididik.
  •      Kodrat menghasilkan pesawat itu mempertinggi kekuasaan manusia atas Alam kita ini. Ini membikin perhubungan baru antara manusia dan Alam (Karl Marx).


Pada zaman Julius-Caesar (Lahir :  Juli 100 SM, Roma, Italia) ; orang Inggris bertabiat lain dari pada orang Inggris zaman sekarang, zaman Industri. Jadi tabiat manusia itu memang tiada tetap. Beginilah salah satu catatan dari Karl Marx dalam buku Plechanoff: “Fundamentals of Marxism”.
Tak usahlah kita pergi ke negeri Inggris buat memeriksa arti yang lebih dalam dari kalimat diatas. Memang bangsa Inggris pada zaman Caesar tiada aktif seperti zaman Industri ini. Mereka tiada memandang Alam itu sebagai benda yang bisa dirubah, melainkan sebagai benda yang mesti dijunjung, disembah saja.

Lebih lanjut marilah kita ambil misal lain yaitu dari bangsa yang dekat pada Bangsa Indonesia ialah Bangsa Jepang.
Belum selang berapa lama bangsa Jepang cuma tunggu saja apa kemauan Alamnya. Gempa bumi yang disana maha dahsyat itu memang datang semau-maunya saja, tak bisa diketahui oleh Jepang Zaman kolot. Selain dari berpangku tangan menunggu datangnya Sang Gempa, berterima kasih pada Yang Mahakuasa, kalau korban harta dan jiwa tiada lebih banyak dari yang dideritanya. Selain dari pada berserah itu Jepang Kolot tiada bisa berbuat sesuatu, mereka pasif saja !
Tetapi industri yang pesat majunya dan berhubungan dengan itu ilmu Bukti dan Pesawat yang pesat pula mengembangnya, mengubah tabiat bangsa Jepang dari orang penunggu berpangku tangan menjadi manusia menyingsingkan lengan baju, bersiap sebelum hujan. Sekarang rumah dan gedung didirikan menurut pesawat dan ilmu baru, dan datangnya gempa itu bisa diketahui dengan perkakas gempa. Disini juga nyata pesawat itu mempertinggi kekuasaan bangsa Jepang atas Alam itu. Juga nyata pesawat itu mengubah sifat passief, penerima, menjadi aktif, penyerang.
Gempa pada tingkat bermula mendidik orang Jepang menjadi ahli gempa. Pada tingkat kedua daerahnya gempa itu oleh ahli gempa dijadikan daerah, dimasa sang gempa, walaupun belum lagi terbasmi, tetapi sudah berkurang, terkendali. Perlantunan juga berlaku di Jepang. Pada negeri yang dahulunya damai, penerima dengan senyum seperti senyumnya bunga Chrisantium, bunga Sakura.
  •  Manusia itu dengan berlaku-nya Alam diluar dirinya sendiri menukar Alam itu, dan akhirnya menukar dirinya sendiri (Karl Marx).


Kebun tebu di Jawa
Seperti diketahui, dalam beberapa ratus tahun dibelakang ini, penduduk Jawa tak perduli atas pimpinan bangsa lain atau tidak ! Sudah menukar Jawa berhutan rimba lebat, menjadi “Kebun Asia”.
Dahulu kala Indonesia Jawa terkenal sebagai perantau, pelayar dan pedagang sampai ke benua Afrika dan Amerika Tengah. Sekarang itu ternama sebagai penduduk “honkvst blijft zitten in zijn dessa”, melekat pada desanya, sesudah bermacam tipuan halus atau kasar dijalankan, baru dia tinggalkan desanya buat pergi ke “Seberang”, sedangkan dahulu kala seberang ini dianggap tak berapa jauh dari dapurnya, sekarang “Seberang” itu berupa Negeri entah-berentah, entah dimana letaknya dan entah berapa jauhnya dari desanya.
Tiada mengherankan, pada Zaman dahulu dia (Jawa) meninggalkan desa juga, terutama a.l juga sebab tiada jauh dari desa itu ada rawa yang selalu mengancam dia dengan penyakit demam atau hutan rimba yang penuh ular dan macan yang berbahaya kalau dilalui, laut Jawa yang boleh dibilang tenang dan penuh ikan, melambaikan ombaknya putih-putih memanggil dia, mengombak mengayunkan dia ke pantai pulau lain di Indonesia dimana penghidupan sebagai petani, penangkap ikan atau pedagang cukup memadai. Pulang balik dari pantai ke pantai menjadikan dia pelayar yang berani, cakap dan cinta pada ombak dan hawa laut. Dengan berangsur-angsur ia menyeberangi kedua Samudera Besar di dunia ini, dan seberang-menyeberang itu menjadi kebiasaan yang tiada bisa lagi diceraikan dengan impian, idaman serta pemandangan dunianya.
Tetapi rawa, hutan dan rimba beberapa abad di belakang ini sudah bertukar menjadi sawah, ladang dan kebun. Pohon sawo yang lebat buahnya, pohon manggis yang rindang itu disudut rumahnya, sawah dengan padi yang menghidupkan pengharapannya dan akan bininya, bunyi gamelan yang menghentikan lelahnya, semuanya ini mengikat hati dan pikirannya pada desanya. Walaupun desanya sudah sesak padat, tanah dan ternaknya tak mencukupi lagi, dan kebun yang besar-besar bukan kepunyaan dia serta tindakan dan isapan merajalela, tetapi hatinya masih terikat oleh desanya.
Perubahan hutan rimba menjadi sawah, kebun tadi, menukar penduduk Jawa umumnya dari perantau menjadi pelekat desa. Tetapi perlantunan Dialektika masih berlaku dan syukurlah akan terus berlaku. Sekarang sudah kelihatan akibatnya.
Dengan semuanya sendiri atau tidak, pada beberapa puluh tahun di belakang ratusan ribu Indonesia Jawa terpaksa meninggalkan desanya buat pergi ke seberang. Di “Seberang” terutama Sumatera mereka sekarang banyak jadi tani makmur, yang lebih sehat dan pintar dari kawan sejawatnya di desa Jawa. Di jalan dari Medan sampai ke Lampung saya bertemu dengan mereka, yang sekarang “honkvast” terletak pula pada sawah ladang, rumah dan kebunnya yang baru, lebih besar dan lebih berhasil dari di Jawa. Banyak diantara mereka kalau “pulang” ke Jawa, lekas pulang kembali ke Sumatera, karena tiada senang lagi pada desanya dulu. Banyak pula yang balik “pulang” ke “Seberang” itu, walaupun dengan perahu layar saja. Kalau tiada begitu susah seperti sekarang di bawah pemerintah Balatentara Jepang ini dia akan membawa teman baru ke “Seberang” itu.
Desakan penduduk di Jawa, yang bertambah dengan 500.000 setahun, pada hari depan akan menjadi persoalan; pindah ke “Seberang” itu, satu persoalan yang hangat dan penting sekali. Pemindahan itu kelak akan menukar semangat “melekat pada desa itu” jadi perantau seperti penduduk Jawa sebelum Zaman Hindu, atau Minangkabau dan Bugis sekarang ini.
Kita lihat pada perlantunan yang kedua. Jawa sebagai Kebun Asia menyebabkan penduduk sesak. Penghidupan bertambah susah dan pemindahan (walaupun diadakan industralisasi) menjadi persoalan penting dan hangat. Pemindahan akan berangsur-angsur mengubah sifat “pelekat” ke desa itu menjadi “perantau” mula-mula ke “Seberang” (Sumatera dll), kemudian siapa tahu ke seluruh pelosok dunia, seperti pada Zaman Besar Bangsa Indonesia Asli ialah zaman sebelum Hindu. Juga disini penduduk Jawa menukar sifat Alamnya dengan begitu menukar tabiatnya sendiri.
Simpulan-simpulan diatas  cukup  menggambarkan perlantunan antar Benda dan Pikiran dalam Dialektika Materialistis itu (lihat pula Ngunandiko.103. DIALEKTIKA.2). Perlantunan antara “Benda (masyarakat}” dengan “Pikiran (paham)” manusia adalah terang sekali. Tidak saja benda “Benda (masyarakat}” jadi alat adanya “Pikiran (paham)”, tetapi sebaliknya kelak pikiran atau paham manusia dalam masyarkat itu melantun jadi alat adanya “Masyarakat Baru”. Tuduhan bahwa dalam Marxisme, pikiran itu semata-mata mekanis menerima saja seperti mesin  jalan kalau ada kodrat dan berhenti kalau kodrat (uap atau listerik) itu berhenti, tuduhan semacam itu tak beralasan sama sekali.
Kata perlantunan kiranya cukup jitu buat menggambarkan kena-mengenanya Benda dan Pikiran dalam masyarakat itu. Dalam misal kita diatas (“Tanah”), tanah tiadalah menerima saja bola yang dijatuhkan atau dipukulkan oleh si anak. Melainkan ia (“Tanah”) melantunkan bola itu kembali, makin kuat datangnya bola, makin deras lantun-nya. Begitulah pikiran tadi tiada berhenti, berpangku tangan saja, menerima bayangan masyarakat, seperti cermin menerima bayangan benda, melainkan melantun mengubah masyarakat itu sendiri.
Begitulah kira-kira kena-mengenanya benda masyarakat dengan pikiran manusia menurut Dialektika Materialisme. Sementara itu dimuka juga telah dijelaskan bahwa pertanyaan yang tiada bisa lagi diselesaikan oleh Logika mengandung :
  • Tempo ;
  • Berseluk-beluk ;
  • Pertentangan ;
  • Pergerakan .

Gambaran lebih lanjut tentang pertanyaan (masalah) yang tiada bisa lagi diselesaikan oleh Logika tersebut secara langsung maupun tidak langsung juga terlihat dalam uraian berikut ini.

  • Apakah masyarakat (hubungan manusia dengan manusia) tetap adanya disepanjang waktu ?

BENDA (MASYARAKAT) MENGENAI PIKIRAN. Misal tentang “benda (masyarakat) mengenai pikiran” ini banyak sekali.   Seperti diketahui Karl Marx utamanya dalam bukunya “DAS KAPITAL”, banyak mengemukakan contoh-contoh, dimana benda masyarakat itu menjadi alat adanya dan terus adanya pikiran itu. Tan Malaka juga telah mengumpulkan banyak sekali contoh  dalam buku peringatan yang dicemplungkan-nya ke laut dekat Merqui (Mergui Archipelago, located in southernmost part of Myanmar),  kuwatir karena buku itu ia ditangkap oleh Inggris. Beberapa contoh tersebut seperti dalam uraian di bawah ini kiranya sudah cukup memberi gambaran bahwa benda (masyarakat) itu mempengaruhi pikiran (paham).
Dalam Filsafat (lihat : Ngunandiko. 96.) sudah diuraikan, bahwa buat Hegel, Absolute Idee, Rohani itulah yang “membikin” sejarah masyarakat manusia. Sedangkan buat Marx pertarungan klas dalam masyarakat itulah yang memajukan masyarakat itu dari tingkat ke tingkat yang lebih tinggi. Demikianlah sejarah menyaksikan perubahan masyarakat perbudakan (Yunani, Romawi) berubah, bertukar menjadi masyarakat Feodalisme keningratan (Eropa pada Zaman Tengah dan Majapahit). Zaman Feodalisme itu berubah, bertukar pula menjadi Zaman Kapitalisme, Kemodalan yang masih umum sekarang. Sedangkan akhirnya Zaman setengah Feodal dan setengah Kapitalisme itu di Rusia pada tahun 1917 berubah, bertukar menjadi Zaman Sosialisme, berdasarkan Kolektivisme tolong-menolong .............. sampai ke zaman Komunisme (namun yang disebut belakangan itu gagal dengan runtuhnya USSR (lihat pula good-corporate-governance).
Bermula pada Zaman perbudakan, kaum budak itulah yang bekerja buat mengadakan hasil Negara. Budak itu dianggap seperti benda mati atau sebagai Hewan dipunyai manusia lain. Seperti barang yang dipunyai boleh pula dibeli atau dijual.
Tetapi kaum serve (pelayan) pada Zaman Feodal, tiadalah manusia yang boleh dijual atau dibeli lagi, mereka terikat pada tuan Lord, Ningrat, tuan Tanah. Mereka bekerja buat Tuan Tanah itu (lihat pula Feodalisme). Selebih dari hasil yang perlu buat dipakainya dengan anak isterinya, mesti dipulangkan pada Tuan Tanah. Serves tadi tinggal di desa dan gandengannya journey-men tinggal di kota. Journey-men ini terikat pada guildmaster, kepada dari kumpulan tukang yang mempunyai Undang yang keras dan kaum buruh pada Zaman kapitalisme kita ini tiadalah boleh dijual atau dibeli seperti budak. juga tiada terikat pada tanah atau kumpulan tukang seumur hidupnya. Mereka diakui merdeka oleh Undang-undang Negara. Mereka merdeka menjual atau tak mau menjual tenaganya buat mencari penghidupannya dan anak bininya. Tetapi sebab dia tiada berpunya, tak mempunyai perkakas, tanah atau modal sendiri, buat bekerja jadi tuan sendiri, dia terpaksa menjual tenaganya pada mereka kaum modal, yang mempunyai perkakas, mesin atau modal. Atau pada Tuan Tanah yang mempunyai tanah. Sebab persaingan mencari kerja dari pada kaum tak berpunya keras sekali, harga tenaganya amat rendah sekali. Tetapi buat hidup mereka mesti terima berapapun rendahnya harga tenaganya itu. Disini mereka bekerja, kuatnya menurut kemauan kapitalis dan lamanya menurut kemauan Kapitalis juga. Dari hari kesehari mereka menghasilkan dari harga tenaganya, dari gaji yang diterimanya dari kapitalis, Nilai Lebih (Merhrwert : Karl Marx). Itu semua masuk ke dalam kantong kapitalis, yang sehari kesehari bertambah kaya dan bertambah kuasa.
Pada Zaman Pekerja, zaman kolektivis, tenaganya tidak merdeka lagi buat dijual belikan. Tenaganya sudah dikumpulkan menjadi Tenaga Negara yakni Negara Kaum Pekerja. Begitu juga perkakas, menghasilkan seperti tanah, logam bahan pabrik, bengkel, kereta, kapal laut, kapal udara, gudang dll, tiada lagi kepunyaan seseorang atau kepunyaan satu klas, melainkan sudah kepunyaan Negara. Tenaga buat Negara itu menggerakkan perkakas Negara buat mendapatkan hasil untuk Negara, ialah Negara Pekerja.
Pada zaman Perbudakan, pertarungan itu terjadi antara Budak dan Tuan. Peraturan ini sengit sekali pada masyarakat Rumawi. Pada zaman Feodalisme, pertarungan itu berlaku antara Budak serves melawan Ningrat dan Raja dan Journeymen melawan Guild-master disampingnya. Pertarungan itu berpuncak pada Revolusi Inggris, pada pertengahan abad ke XVII dan pada Revolusi Besar di Perancis pada hampir penghabisan abad ke XVIII. Akhirnya pada Zaman Kemodalan kita ini, pertarungan antara Proletar dan Kapitalis itu berlaku di Rusia pada tahun 1917, ialah permulaan abad ke XX. Ternyata Zaman Kemodalan ini sampai abad ke-21 belum berakhir, kaum modal mampu memperbaiki dirinya dan mencapai kesepakatan-kesepakatan dengan kaum pekerja.
Walaupun segala macam pertarungan tadi bersifat pertarungan klas juga, tetapi sebab sifat klas di dalam masyarakat tadi berubah bertukar, maka berubah bertukarlah pula sifatnya pertarungan itu. Dengan bertukarnya masyarakat, bertukarlah pula klasnya, dan dengan begitu bertukarlah pula lakonnya pertarungan klas itu dalam sejarah masyarakat itu. Pertarungan Budak menentang Tuan pada Zaman masyarakat Romawi, bertukar pertarungan Serves  dan Journeymen (a person who has served an apprenticeship at a trade or handicraft and is certified to work at it assisting or under another person) menentang Tuan Tanah serta Raja dan Tuan perkumpulan-Tukang dan pada Zaman Tengah. Pertarungan terakhir ini bertukar menjadi pertarungan Proletar menentang Kapitalis pada Zaman Kemodalan ini.

  • Apakah perkara atau benda yang bertukar sifat jadi masyarakat klas dan akhirnya menukar sifat pertarungan klas itu ?

Orang itu memasuki sesuatu penghasilan sosial (produk sosial), yakni masyarakat berdasarkan perhubungan yang tertentu. Perhubungan ini ditentukan oleh perhubungan menghasilkan, yakni tiada bergantung pada kemauannya sendiri. Jumlah semua perhubungan menghasilkan inilah yang menjadi susunan Ekonomi. Diatas susunan Ekonomi inilah berdirinya Politik dan Undang Negara (Karl Marx).
Jadi orang yang lahir dan memasuki masyarakat perbudakan tadi memasuki perhubungan yang ada pada masyarakat semacam itu  ialah perhubungan Budak dan Tuan. Tiadalah bisa dia keluar dari perhubungan semacam itu. Begitu pula kalau ia memasuki masyarakat Feodalisme, perhubungan mesti terikat pada perhubungan Feodalisme tadi. Lahir dalam masyarakat Kapitalisme ialah  Buruh dan Kapitalis, yang Berpunya dan Tak Berpunya. Akhirnya kalau dia memasuki Zaman Komunisme, maka perhubungannya ialah perhubungan yang ada dalam masyarakat semacam itu pula. Perhubungan satu Pekerja dengan teman sejawatnya Pekerja pula.
Perhubungan dalam masing-masing jenis masyarakat tadi pasti,  tiada ditentukan oleh kemauannya sendiri, melainkan bergantung kepada cara menghasilkan yang umum dalam masyarakat tersebut yakni :
  •      (1) pd tenaga Budak di Zaman Perbudakan;
  •      (2) pd tenaga Serves dg perkakasnya di zaman Feodalisme;
  •      (3) pd tenaga Buruh dan mesin tuannya pd Zaman Kemodalan.

Walaupun demikian dalam jumlah yang sangat terbatas tenaga Budak dan tenaga Serves masih ada sampai saat ini. Perlu diingat pula bahwa perkakas dan mesin juga berubah dengan adanya kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Disamping itu kaum modal juga mampu memperbaiki dirinya, sehingga Zaman Kemodalan masih berlangsung di abad ke-21 ini.
Perhubungan satu klas dengan klas lainnya, satu golongan dengan golongan lainnya dalam pekerjaan menghasilkan ; itulah yang menjadi Susunan Ekonomi. Jadi Susunan Ekonomi dalam Zaman Perbudakan ialah perhubungan Budak dan Tuannya dalam hal menghasilkan. Perhubungan Kaum Buruh dan Kaum Bermodal dalam hal menghasilkan yang menjadi Susunan Ekonomi pada Zaman Kapitalisme ini (Karl Marx).
Akhirnya menurut catatan di atas tadi, Susunan Ekonomi itulah pula yang menjadi dasar dari Undang dan Politik Negara. Pada Zaman Feodalisme, Susunan Ekonomi dalam Negara Feodalistis itulah yang menjadi benda dasar Undang dan Politik dalam Negara Feodalis itu. Sedangkan dalam dunia Kemodalan sekarang, Susunan Ekonomi ialah perhubungan Buruh dan Kapitalis dalam hal menghasilkan itulah pula yang jadi dasar dari Undang dan Politik dalam Negara Kapitalistis itu.
Hal ini juga dikeraskan oleh Marx dengan kalimat lain pada tempat lain ;  kalimat yang masyhur dalam kalangan Dialektika berbunyi :
  •      Susunan Ekonomi menimbulkan Susunan Undang dan Politik, serta Susunan Undang dan Politik berpengaruh pasti pada Tata Kodrat Jiwa Manusia sebagai Mahluk Masyarakat ; dan
  •     Di atas berjenis-jenis bentuk harta (properties) dalam kehidupan  masyarakat, berdiri superstructure (gedung) impian, cita-cita kebiasaan berpikir, perasaan dan pemandangan dunia.

Demikianlah manusia lahir dan dapat didikan dalam masyarakat, yang berdasarkan atas susunan ekonomi Feodalistis itu tiada luput dari semangat Undang dan Politik Feodalisme itu. Dan mereka yang lahir dan dapat didikan dalam masyarakat yang berdasar Kapitalistis ini, tiada luput pula dari semangat Undang, Politik dan Kebudayaan kapitalistis itu.
Oleh karena itu Undang dan Politiknya Tuan dalam Zaman Perbudakan itu, jadi alat adanya Undang dan Politik kaum Budak. Spartacus, keluarga Crachus dan Catalina membadani Politik anti-Tuan Tanah membela kaum Budak dan Tak Berpunya pada zaman Romawi.
Sementara itu pertentangan klas dalam Zaman Feodalisme, akhirnya menimbulkan pertarungan klas yang dahsyat antara Borjuis Revolusioner (Madame-Roland, Vergnaud dan Brissot) pada satu pihak dan Kaum Ningrat dikepalai oleh Rajanya pada pihak lain.
Sedangkan pertarungan klas, antara kaum Proletar di bawah pimpinan Lenin dan Partai Bosjewiki dengan kaum Borjuis di bawah Pimpinan Prof. Miljukoff dengan Partai Liberalnya dibantu oleh Karensky dengan Partai Sosialisnya. Hal ini telah menghasilkan negara USSR, namun dalam perkembangannya USSR (Uni Soviet) mengalami jalan buntu dan runtuh karena berbagai sebab yang harus dicermati lebih lanjut.
  •     Tampak bahwa “sejarah manusia” itu tiada kebetulan saja ; sembarangan; semau-maunya saja; tuval atau accident saja. Juga tiada semaunya “Kodrat diluar Undangnya Masyarakat” sendiri. “Sejarah Manusia” itu berjalan menurut “Undang Masyarakat” itu sendiri.

Sejarah Manusia” itu menurut Marx melalui garis merahnya pertarungan klas, dari satu tingkat ke tingkat yang lebih tinggi. Dari tingkat “Masyarakat Perbudakan” ke “Masyarakat Feodalisme”, dari sini ke “Masyarakat Kapitalis” dan dari sini naik ke tingkat Masyarakat Pekerja. Dalam sejarahlah mulanya berlaku “Thesis”, “Anti-Thesis” dan “Synthesis”.
Teranglah pula bahwa pertentangan dalam “Susunan Ekonomi” itu, membayang pada pikiran kedua golongan yang bertentangan dalam masyarakat itu. Pada satu pihak Kaum Berpunya dan Berkuasa yang berpemandangan dan berpolitik, mau mempertahankan Undang dan Tata Negara yang cocok dengan keamanan Harta dan Kekuasannya. Pada pihak lain Kaum Tak Berpunya dan Tertindas yang berpemandangan, beridaman dan bercita-cita Perlawanan dengan Undang dan Politik yang ada. Akhirnya kalau Kaum Revolusioner cukup sadar, tersusun, cukup sifat dan banyak kaumnya, cukup besar pengaruhnya dan cakap pimpinannya, menanglah dia dalam pertarungan.
Jadi manusialah yang membikin sejarah. Tetapi seperti kata Marx pula, bukan seperti semaunya sendiri, melainkan menurut alat yang dia peroleh dalam masyarakatnya. Kemauan Napoleon tiada bisa melewati batas yang ditentukan oleh kaum hartawan yang muda dan kaum tani yang cerai-berai itu. Kemauan Lenin tiada bisa melampaui daerah yang ditentukan oleh industri dan kemesinan Rusia yang muda remaja itu. Akhirnya kemauan Stalin, tiada bisa mengabaikan sisa borjuis besar dan kecil di Rusia sendiri dan Imperialisme Besar dan Kecil di luar Rusia.
  • Barang siapa percaya, bahwa seseorang yang berapapun keras kemauannya dengan pengikutnya bisa menimbulkan “Masyarakat Baru”, yang melebihi dari pada alat seperti pesawat, kebudayaan dll yang di-pusaka-kan oleh masyarakat itu, maka yang percaya semacam itu sudah meninggalkan Dunia Bukti dan memasuki Dunia Mimpi: Utopist (Karl Marx).


  • Apakah perubahan masyarakat (hubungan manusia dengan manusia) dari masa ke masa berlangsung menurut hukum-hukum tertentu ?

BAYANGAN MASYARAKAT. Bayangan masyarakat sebagai pemandangan dunia : Weltanschauung.
Bumi terletak diatas ikan. Ikan terletak diatas telur. Telur terletak dipuncak tanduk kerbau. Kadang-kadang lalat menggigit kerbau, maka bergoyanglah kerbau tadi. Karena ia bergoyang, maka bergoyanglah pula telur diujung tanduk kerbau tadi. Dengan begitu goyanglah pula ikan. Dan akhirnya goyang ikan tadi menyebabkan bumi kita kadang-kadang bergoyang, gempa bumi”.
Beginilah seluk-beluknya Bumi dan Gempa menurut Pandangan Dunia terbikin di Minangkabau.
Memang kerbau lebih-lebih di zaman dahulu di Minangkabau penting buat segala-galanya. Bukan saja kodratnya dipakai buat membajak sawah atau menarik pedati, tetapi dari puncak tanduknya sampai ke ampas yang dibuangkannya itu, dipakai sama sekali. Nama “Alam Minangkabau” boleh jadi atau bukan diambil dari kemenangan kerbaunya orang Sumatera Tengah, atas kerbaunya orang dari Jawa Timur, tetapi tiada mustahil jago-jago dari Majapahit dan kuat kebal dari Minangkabau sudah lelah berperang, buntu. Kemudian putusan diserahkan pada cerdik pandai kedua belah pihak! Boleh jadi pula Raden Panji dan Raja dari Majapahit dan Datuk-datuk Gadang bertuah dari Minangkabau, setuju masing-masing akan takluk pada hasilnya peraduan dua ekor kerbau. Selainnya dari pada itu dalam cerita Minangkabau yang paling dicintai ialah “Cindur Mata”, kerbau bernama si Benuang mengambil bagian yang besar sekali dalam sebuah pertempuran.
Thesisnya Marx, yang sebagian sudah disebut dimuka, kita bejumpa dengan perlantunan itu. Bagian itu kira-kira berarti, Ilmu Materialisme, yang mengatakan bahwa seseorang itu ialah hasilnya dari suatu masyarakat, dan orang lain hasilnya masyarakat lain pula, lupa bahwa masyarakat itu hasil dari pekerjaan orang pula. Begitulah si pendidik dididik.
Demikianlah beberapa simpulan dari bahasan dan renungan tentang dialektika, utamanya tentang perkembangan hubungan masyarakat dan pikiran (paham). Sudah barang tentu simpulan-simpulan  tersebut adalah berdasar data dan kenyataan-kenyataan yang diperoleh pada ruang dan waktu tertentu.
Semoga bermanfaat !
*
All things contain contradictory sides or aspects, whose tension or conflict is the driving force of change and eventually transforms or dissolves them. But whereas Hegel saw change and development as the expression of the world spirit, or Idea, realizing itself in nature and in human society, for Marx and Engels change was inherent in the nature of the material world. They therefore held that one could not, as Hegel tried, deduce the actual course of events from any “principles of dialectics”; the principles must be inferred from the events (Encyclopædia Britannica).

*