Ngunandiko. 75
Sukarni
Kartodiwirjo
Untuk menyambut penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada
almarhum Sukarni Kartodiwirjo atau akrab disebut sebagai Bung Karni—pada
10 Nopember 2014, maka dalam kesempatan ini “Ngunandiko” ingin
menurunkan tulisan tentang Sukarni tersebut yang dikutip dari ;
- Insiklopedi Umum (1973 – Penerbitan Jajasan Kanisius) ;
- Penuturan Jenderal AH Nasution dalam buku “Sukarni Dalam Kenangan Teman-temanya” (1986 - Penerbit Sinar Harapan)
Tulisan tersebut dimaksudkan untuk lebih memperkenalkan
siapa sebenarnya Bung Karni itu, dan semoga bermanfaat !
I.
Sukarni
menurut Insiklopedi Umum.
Sukarni |
II. Sukarni
menurut penuturan Jenderal A.H Nasution.
A.H Nasution |
Wajarlah bahwa pada suatu waktu gerakan yang sehaluan
itu bertemu dan secara fisik diadakan pertemuan bersama di Jakarta di gedung
yang sekarang ditempati oleh Makamah Agung. Di sinilah saya pertama kali
bertemu dengan Bung Karni, tokoh pemuda pejuang yang menonjol di masa
pendudukan Jepang. Wajarlah kalau di tahun-tahun berikutnya tak bertemu kembali
dengan dia, karena ia terjun di bidang politik dan saya di bidang militer.
Barulah di masa pergolakan menjelang akhir 50-an saya sempat kembali untuk
sering bertemu dengan dia, yaitu di masa perpecahan bangsa yang gawat.
Setelah Belanda angkat kaki dari Indonesia kami
mengharapkan keadaan akan lebih mantap dan akan dapat dimulai mengisi
kemerdekaan untuk menuju keadilan/kemakmuran. Akan tetapi pada tahun-tahun
berikutnya rasanya kita semakin jauh dari harapan itu, karena tidak terbina
konsistensi perjuangan dalam kondisi yang berlaku dewasa itu. Menjadilah tahun
50-an masa frustasi luas, karena jurang besar antara kenyataan dan harapan
semula, hingga timbullah pergolakan-pergolakan untuk mencari pegangan, mencari
identitas kembali.
Segala sesuatu membawa ke pergolakan antar
partai/golongan termasuk ABRI yang semakin kritis, yang akhirnya membahayakan
persatuan bangsa dan kesatuan negara dengan berbagai pergolakan pemberontakan.
Dinamika mencari jalan keluar tahun 50-an itu telah menimbulkan pergolakan
bersenjata hampir diseluruh tanah air, yang jika ikut melibatkan bagian-bagian
TNI, sesuai dengan sifat kerakyatannya yang masih kuat dewasa itu. Pada
puncaknya pergolakan itu mengenai Ibu Kota dan daerah-daerah yang luas,
sehingga seperenam wilayah RI terlepas dari kendali pemerintah pusat, dan
dihadapinya lebih kurang 100,000 orang bersenjata.
Terjadi pula intervensi “tertutup” dari negara-negara
Barat, suatu hal yang berkali-kali kita alami di lapangan, dan juga dari
kesaksian penerbang asing yang tertembak
jatuh, dan kemudian kesaksian dinas rahasia yang bersangkutan dalam
Senat negara yang bersangkutan. Setiap tindakan itu mendapat respons yang logis
dari kuasa-kuasa Timur sehingga banyak orang yang mulai menyangsikan hidup (survival) Republik Indonesia.
Tentulah tiada pejuang yang dapat berpangku tangan
ketika bangsa dalam keadaan kritis demikian.
Maka lahirlah antara lain politik keamanan KEMBALI KE PANGKUAN REPUBLIK
dan usaha KEMBALI KE UUD ’45 sebagai landasan persatuan nasional kembali,
dipelopori oleh pimpinan AD waktu itu.
Sementara pergolakan senjata terjadi di berbagai
daerah, konstituante pun belum juga mencapai mufakat dalam soal-soal prinsip.
Dalam pada itu Dewan Nasional suatu badan ekstrakonstitusional yang
di-dalam-nya terdapat pimpinan partai-partai, golkar-golkar (golongan karya),
dan ABRI mencari jalan untuk memberi isi dan bentuk pada “demokrasi terpimpin”,
“demokrasi gotong royong” , konsep presiden. KSAD yang mewakili ABRI dalam
panitia perumus, dengan resmi memajukan usul tertulis menjelang HUT Proklamasi
1958.
Perlu jaminan pimpinan nasional yang teguh serta stabil
berdasarkan hasrat rakyat proklamasi, perlu program negara dirumuskan untuk
tiap lima tahun, dan jaminan pelaksanaan yang stabil. Yang demikian dapat
dijamin dengan mengembalikan konstitusi Proklamasi 1945. Anggota DPR dipilih
berdasarkan sistem orang, bukan sistem partai dengan jatah tiap 300,000 orang
langsung memilih wakilnya, dan biaya pemilihan berkurang.
Tapi mayoritas menolak dan keputusan Dewan Nasional
dalam sidang 14 – 15 Agustus berbunyi :
“Demokrasi
terpimpin dapat dijalankan dan dilaksanakan dalam rangka UUDS-RI sekarang
dengan tidak menutup kemungkinan mengambil hikmah kebijaksanaan Konstitusi
Proklamasi”
Di masa saya jadi anggota Dewan Nasional, yang terdiri
atas tokoh-tokoh politik, fungsional dan daerah, maka saya berkesempatan banyak
bertukar pikiran dengan pejuang-pejuang politik dalam mencari “jalan keluar”
dari kekacauan dan pergolakan masa itu, antara lain dengan Bung Karni. Dalam hal saya memprakarsai untuk kembali ke
UUD ’45, dialah yang sejak semula saya rasakan sebagai teman seperjuangan, yang
juga secara sejajar memperjuangkannya.
Hal ini saya rasakan penting, karena justru semula
usaha itu tidak mendapat respons positip dari kalangan partai-partai besar.
Demikianlah juga dalam Dewan Nasional tidak terdapat respons yang cukup tegas
untuk mendukung prakarsa itu. Presiden dan kabinet masih ragu-ragu menerima
usul AD.
Maka pada Hari Sumpah Pemuda1958 oleh KSAD diutuslah
dua orang menteri berasal dari ABRI : Kol. Nasir dan Suprayogi meminta
ketegasan Presiden. Keduanya kemudian dengan gembira melaporkan bahwa Presiden
kini telah setuju kembali ke UUD’45. Kemudian PM Djuanda menyapaikan sikap
pemerintah itu kepada DPR dan Presiden Sukarno yang mengusulkannya dengan resmi
dalam sebuah pidato di depan Konstituante tanggal 22 April 1959. Kemudian
beliau mengadakan kunjungan ke luar negari yang panjang.
Akhirnya semua pihak dalam Konstituante setuju untuk
meninggalkan UUD Sementara 1950 dan kembali ke UUD ’45, tetapi fraksi-fraksi Islam
menghendaki pembukaan UUD semula sebelum perubahan tanggal 18 Agustus 1945,
sehingga tidak tercapai syarat mayoritas 2/3. Ini berarti terjadi kemacetan
konstitutional.
Dengan kemacetan itu timbullah suasana
politik-psikologis yang eksplosif. Pimpinanan AD bersidang. Selaku penguasa
perang pusat KSAD melarang sementara kegiatan-kegiatan politik dan menunda
sidang-sidang Konstituante, segala sesuatu dengan persetujuan Perdana
Menteri/Menteri Pertahanan. Tindakan dilaporkan dengan kawat kepada Presiden diluar
negeri dan beliau menyatakan persetujuannya, juga terhadap usaha pimpinan AD
untuk memproseskan penyelesaian. Ketua Makamah Agung yang ikut rombongan
Presiden dikirim kembali ke tanah air untuk membantu usaha itu.
Segera oleh pimpinan AD diadakan pembicaraan dengan
pimpinan empat partai besar : dengan PNI
dan Masyumi oleh KSAD, dengan NU dan PKI oleh WAKSAD. Mereka menerima untuk
kembali ke UUD’45. Tetapi salah satu diantaranya menghendaki hal itu melalui
proses yang tertentu.
PADA saat Presiden kembali, atas usaha Front Nasional
Pembebasan Irian Barat – gabungan badan-badan kerja sama militer dengan pemuda,
buruh, ulama dan lain-lain yang diketuai oleh KSAD – diadakan sambutan massa
rakyat. Presiden menyatakan akan bertindak menuruti “kehendak mayoritas
rakyat”.
Hari Ahad 5 Juli 1959 inti kabinet bersidang di Bogor,
dengan dihadiri Ketua Makamah Agung serta KSAD. Tercapailah kesepakatan berdasarkan
keadaan darurat untuk mengeluarkan dekrit kembali ke UUD ’45.
Tetapi setelah kembali ke UUD ’45, terpusatlah kekuatan
d tangan Presiden/Pangti/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS dengan
penampilan nasakomisasi yang diungguli oleh “komunisasi”. Maka dalam tahap ini
kembalilah saya sebagai seorang pemimpin TNI dewasa itu bertemu dengan Bung
Karni, lebih-lebih mengingat kami bersama menjadi sasaran dalam proses
tersebut. Bung Karni jadi Dubes di Peking weggeproveerd
(istilah pak Kasimo waktu itu) dan saya jadi Menko Hankam/KSAB sehingga
berada di luar komando ABRI. Komando ABRI berada sepenuhnya di tangan
Pangti/Pangsar Koti dengan staf Koti dipimpin oleh Jenderal Yani yang merangkap
Panglima AD.
Sementara itu pihak PKI telah mengusahakan
pendobrakan-pendobrakan taktis di lapangan berupa tuntutan mempersenjatai buruh
dan tani. Ini berbarengan dengan rentetan “aksi-aksi sepihak” untuk menghantam
lawan-lawan dan untuk mencapai posisi semacam “kantung-kantung gerilya” di
lapangan. Maka TNI-lah yang merasa lebih dulu “kecolongan”, tetapi Bung
Karni-lah yang lebih dulu secara terbuka, terang-terangan mengutuk aksi sepihak
itu. Pada awal Januari 1965 di Medan ia nyatakan hal itu kepada pers atas nama
Partai Murba. Ia sinyalir bahwa aksi-aksi demikian akan menghancurkan persatuan
nasional. Seminggu kemudian Koti mengumumkan bahwa Partai Murba “dilarang”
untuk sementara, kemudian dibubarkan.
Demikianlah ! Mengenang Bung Karni ialah mengenangkan
masa-masa kritis perjuangan, memang seorang pejuang tidak-lah bisa absen di
saat-saat krisis perjuangan.
*
Heroes represent the best of
ourselves, respecting that we are human beings. A hero can be anyone from
Gandhi to your classroom teacher, anyone who can show courage when faced with a
problem. A hero is someone who is willing to help others in his or her best
capacity (Ricky Martin).
*