Senin, 10 November 2014

Sukarni



Ngunandiko. 75






Sukarni Kartodiwirjo


Untuk menyambut penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada almarhum Sukarni Kartodiwirjo atau akrab disebut sebagai Bung Karni—pada  10 Nopember 2014, maka dalam kesempatan ini “Ngunandiko” ingin menurunkan tulisan tentang Sukarni tersebut yang dikutip dari ;

  • Insiklopedi Umum (1973 – Penerbitan Jajasan Kanisius) ;
  • Penuturan Jenderal AH Nasution dalam buku “Sukarni Dalam Kenangan Teman-temanya” (1986 - Penerbit Sinar Harapan)
Tulisan tersebut dimaksudkan untuk lebih memperkenalkan siapa sebenarnya Bung Karni itu, dan semoga bermanfaat !

I.         Sukarni menurut Insiklopedi Umum.
Sukarni
Soekarni Kartodiwirjo (1916-1971) ketua umum Partai Murba, tokoh angkatan ’45, berjasa dalam perjuangan kemerdekaan nasional Indonesia.  Sukarni dilahirkan di Garum, Blitar, JawaTimur (14 Juli 1916) dan mendapatkan pendidikan HIS, MULO, Kweekschool (berturut turut SD, SMP, Sekolah Guru di jaman penjajahan) dan Volks Universiteit (Universitas Rakyat). Sejak usia muda sudah giat dalam pergerakan. Arah pendirian politiknya sudah tampak ketika ia memasuki perhimpunan pemuda pelajar Indonesia Muda (1930). Kedudukannya cepat menanjak dan terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar (1934). Karena IM hanya mencakup siswa dari sekolah lanjutan keatas, maka Sukarni mendirikan PPK (Persatuan Pemuda Kita) yang juga terbuka bagi pelajar sekolah dasar dan pemuda-pemuda lainnya. Gerak-gerik Sukarni yang menurut anggapan penguasa kolonial revolusioner, diawasi dengan cermat oleh PID (Politieke Inlichtingen Dienst) ialah Intel-nya penjajah waktu itu. Pada suatu penggerebegan terhadap anggota-anggota pengurus besar IM, ketua Sukarni dapat lolos dan menghilang (1936). Beberapa waktu sebelum perang Pacifik dia tertangkap ketika berada disuatu kapal di pelabuhan Samarinda, Kalimantan Timur. Perjalanan kembali ke Jawa sebagai tahanan berakhir di Jakarta. Rencana untuk men-Digulkan-nya menjajadi pembebasan, karena terburu datangnya serbuan tentara Jepang. Dalam jaman pendudukan Jepang Sukarni bekerja pada Kantor Berita ANTARA yang kemudian di-Jepang-kan dengan nama DOMEI. Tidak lama kemudian dia meninggalkan kerja kewartawanannya. Sukarni mulai giat menyusun kader muda untuk kepentingan perjuangan kemerdekaan. Gedung Menteng no.31 di Jakarta, diduduki untuk markas besarnya.  Segala sesuatu sudah tentu dijalankan diluar pengetahuan penguasa Jepang;  Sukarni berada dalam intaian Kempetai Jepang. Sukarni bertindak sebagai Ketua Asrama disana (1943). Ditempat itulah terkumpul dan tersusun tokoh-tokoh Angkatan ’45, himpunan tenaga muda segar penuh gerak-lincah (militant). Setelah mereka yakin akan kekalahan Perang Jepang (berita peperangan diikuti dengan cermat dan hati-hati), karena semua radio disegel oleh Jepang. Sukarni dan kawan-kawan mendesak Sukarno-Hatta untuk cepat-cepat memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Perselisihan paham yang tajam tentang saat tepat ini menyebabkan Sukarni dkk menculik Sukarno-Hatta disingkirkan ke Rengasdengklok (16 Agustus 1945). Tetapi dengan cepat pula semua pihak dapat bersatu kembali, sama-sama menyaksikan – dan selanjutnya mendukung, mengisi, memperjuangkan, mempertahankan – Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 yang terkenal. Sukarni membentuk Comite van Aksi (semacam Panitia Gerak Cepat) Sebelas orang pimpinannya masing-masing mendapat tugas menyusun dan memimpin satu seksi yang meliputi bidang-bidang tertentu (18 Agustus 1945). Khusus untuk para pemuda didirikan API (Angkatan Pemuda Indonesia). Untuk kalangan perburuhan dibentuk BBI (Barisan Buruh Indonesia) yang kemudian melahirkan Laskar Buruh dan Laskar Buruh Wanita. Sukarni memegang seksi pemerintahan dan urusan luar negeri. Juga diadakan bagian penyelidikan penghubung (dengan daerah-daerah). Pertama-tama Comite van Aksi giat menyebarluaskan peristiwa dan arti Proklamasi Kemerdekaan dan bertalian dengan itu kewajiban-kewajiban yang timbul bagi seluruh rakyat. Pemuda Menteng 31 dengan Comite van Aksi-nya merupakan kekuatan pendorong yang berpengaruh dan berjasa dalam mengisi kemerdekaan. Masih dalam masa pendudukan Jepang Sukarni berkenalan dengan Tan Malaka dengan Pari-nya (Partai Republik). Diteruskan di jaman RI-Yogya, Sukarni menjabat Sekretari Jenderal Persatuan Perjuangan (PP) dibawah ketua Tan Malaka. PP menolak politik perundingan pemerintah dengan penjajah. PP beroposisi terhadap pemerintah RI. Aksi kalangan PP ini melibatkan Sukarni dalam apa yang dikenal sebagai Peristiwa 3 Juli dan masuk penjara (1946), Selanjutnya Sukarni pernah mengalami penahanan di Solo, Madiun. Ponorogo (daerah komunis Muso) dimasa pemerintahan Amir Sjarifuddin (1947-1948). Sejak partai Murba berdiri (Nopember 1948) Sukarni sampai wafatnya menjabat sebagai Ketua Umum. Dia juga duduk sebagai anggota Badan Pekerja KNI-Pusat. Dalam pemilihan umum yang pertama (1955) Sukarni terpilih sebagai anggota Konstituante. Sejak 1961 Sukarni berkedudukan di Peking, ibukota RRT sebagai Duta Besar Republik Indonesia, kembali di tanah air Maret 1964. Konon dalam pertemuan di Istana Bogor dalam bulan Desember 1964 Sukarni memperingatkan Presiden Sukarno agar berhati-hati menghadapi PKI . Berlawanan dengan harapan, hasilnya  Murba dibekukan (Januari 1965) ditangkap dipenjarakan bersama pemimpin-pemimpin politik lainnya. Setelah peristiwa Gerakan Tigapuluh September (G30S) , bergejolak demontrasi kesatuan-kesatuan aksi dan bertindaknya Penguasa Orde Baru, Sukarni dibebaskan dan larangan Murba dicabut (direhabilitir) : 17 Oktober 1966. Kemudian Sukarni ditujuk sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) : 1967. Pemegang bintang jasa Maha Putera klas empat  Sukarni Kartodiwiryo wafat pada 7 Mei 1971. Jenasah dimakamkan di Taman Pahlawan, Kalibata. Jakarta dengan upacara kebesaran kenegaraan/militer.  
       
II.     Sukarni menurut penuturan Jenderal A.H Nasution.
A.H  Nasution
Sesungguhnya saya (Nasution) bukan sahabat dekat Bung Karni, namun saat-saat krisis perjuangan bangsa membawa saya bertemu dengannya. Demikianlah mula saya berjumpa pada zaman Jepang, di masa makin merosotnya posisi perang Jepang di satu pihak dan makin meningkatnya gelora kemerdekaan Indonesia di pihak lain, yang amat terasa di kalangan pemuda dewasa itu. Dalam hal itu sejarah mencatat, bahwa Bung Karni termasuk salah satu titik penggeraknya di Jakarta.Kebetulan sejarah pula, bahwa ketika itu kami pemuda-pemuda di Bandung melakukan kegiatan yang sejajar yang mengumpulkan usaha itu dalam Angkatan Muda.
Wajarlah bahwa pada suatu waktu gerakan yang sehaluan itu bertemu dan secara fisik diadakan pertemuan bersama di Jakarta di gedung yang sekarang ditempati oleh Makamah Agung. Di sinilah saya pertama kali bertemu dengan Bung Karni, tokoh pemuda pejuang yang menonjol di masa pendudukan Jepang. Wajarlah kalau di tahun-tahun berikutnya tak bertemu kembali dengan dia, karena ia terjun di bidang politik dan saya di bidang militer. Barulah di masa pergolakan menjelang akhir 50-an saya sempat kembali untuk sering bertemu dengan dia, yaitu di masa perpecahan bangsa yang gawat.  
Setelah Belanda angkat kaki dari Indonesia kami mengharapkan keadaan akan lebih mantap dan akan dapat dimulai mengisi kemerdekaan untuk menuju keadilan/kemakmuran. Akan tetapi pada tahun-tahun berikutnya rasanya kita semakin jauh dari harapan itu, karena tidak terbina konsistensi perjuangan dalam kondisi yang berlaku dewasa itu. Menjadilah tahun 50-an masa frustasi luas, karena jurang besar antara kenyataan dan harapan semula, hingga timbullah pergolakan-pergolakan untuk mencari pegangan, mencari identitas kembali.
Segala sesuatu membawa ke pergolakan antar partai/golongan termasuk ABRI yang semakin kritis, yang akhirnya membahayakan persatuan bangsa dan kesatuan negara dengan berbagai pergolakan pemberontakan. Dinamika mencari jalan keluar tahun 50-an itu telah menimbulkan pergolakan bersenjata hampir diseluruh tanah air, yang jika ikut melibatkan bagian-bagian TNI, sesuai dengan sifat kerakyatannya yang masih kuat dewasa itu. Pada puncaknya pergolakan itu mengenai Ibu Kota dan daerah-daerah yang luas, sehingga seperenam wilayah RI terlepas dari kendali pemerintah pusat, dan dihadapinya lebih kurang 100,000 orang bersenjata.
Terjadi pula intervensi “tertutup” dari negara-negara Barat, suatu hal yang berkali-kali kita alami di lapangan, dan juga dari kesaksian penerbang asing yang tertembak  jatuh, dan kemudian kesaksian dinas rahasia yang bersangkutan dalam Senat negara yang bersangkutan. Setiap tindakan itu mendapat respons yang logis dari kuasa-kuasa Timur sehingga banyak orang yang mulai menyangsikan hidup (survival)  Republik Indonesia.
Tentulah tiada pejuang yang dapat berpangku tangan ketika bangsa dalam keadaan kritis demikian.  Maka lahirlah antara lain politik keamanan KEMBALI KE PANGKUAN REPUBLIK dan usaha KEMBALI KE UUD ’45 sebagai landasan persatuan nasional kembali, dipelopori oleh pimpinan AD waktu itu.
Sementara pergolakan senjata terjadi di berbagai daerah, konstituante pun belum juga mencapai mufakat dalam soal-soal prinsip. Dalam pada itu Dewan Nasional suatu badan ekstrakonstitusional yang di-dalam-nya terdapat pimpinan partai-partai, golkar-golkar (golongan karya), dan ABRI mencari jalan untuk memberi isi dan bentuk pada “demokrasi terpimpin”, “demokrasi gotong royong” , konsep presiden. KSAD yang mewakili ABRI dalam panitia perumus, dengan resmi memajukan usul tertulis menjelang HUT Proklamasi 1958. 
Perlu jaminan pimpinan nasional yang teguh serta stabil berdasarkan hasrat rakyat proklamasi, perlu program negara dirumuskan untuk tiap lima tahun, dan jaminan pelaksanaan yang stabil. Yang demikian dapat dijamin dengan mengembalikan konstitusi Proklamasi 1945. Anggota DPR dipilih berdasarkan sistem orang, bukan sistem partai dengan jatah tiap 300,000 orang langsung memilih wakilnya, dan biaya pemilihan berkurang.   
Tapi mayoritas menolak dan keputusan Dewan Nasional dalam sidang 14 – 15 Agustus  berbunyi :
“Demokrasi terpimpin dapat dijalankan dan dilaksanakan dalam rangka UUDS-RI sekarang dengan tidak menutup kemungkinan mengambil hikmah kebijaksanaan Konstitusi Proklamasi”
Di masa saya jadi anggota Dewan Nasional, yang terdiri atas tokoh-tokoh politik, fungsional dan daerah, maka saya berkesempatan banyak bertukar pikiran dengan pejuang-pejuang politik dalam mencari “jalan keluar” dari kekacauan dan pergolakan masa itu, antara lain dengan Bung Karni. Dalam hal saya memprakarsai untuk kembali ke UUD ’45, dialah yang sejak semula saya rasakan sebagai teman seperjuangan, yang juga secara sejajar memperjuangkannya.
Hal ini saya rasakan penting, karena justru semula usaha itu tidak mendapat respons positip dari kalangan partai-partai besar. Demikianlah juga dalam Dewan Nasional tidak terdapat respons yang cukup tegas untuk mendukung prakarsa itu. Presiden dan kabinet masih ragu-ragu menerima usul AD.
Maka pada Hari Sumpah Pemuda1958 oleh KSAD diutuslah dua orang menteri berasal dari ABRI : Kol. Nasir dan Suprayogi meminta ketegasan Presiden. Keduanya kemudian dengan gembira melaporkan bahwa Presiden kini telah setuju kembali ke UUD’45. Kemudian PM Djuanda menyapaikan sikap pemerintah itu kepada DPR dan Presiden Sukarno yang mengusulkannya dengan resmi dalam sebuah pidato di depan Konstituante tanggal 22 April 1959. Kemudian beliau mengadakan kunjungan ke luar negari yang panjang.
Akhirnya semua pihak dalam Konstituante setuju untuk meninggalkan UUD Sementara 1950 dan kembali ke UUD ’45, tetapi fraksi-fraksi Islam menghendaki pembukaan UUD semula sebelum perubahan tanggal 18 Agustus 1945, sehingga tidak tercapai syarat mayoritas 2/3. Ini berarti terjadi kemacetan konstitutional.
Dengan kemacetan itu timbullah suasana politik-psikologis yang eksplosif. Pimpinanan AD bersidang. Selaku penguasa perang pusat KSAD melarang sementara kegiatan-kegiatan politik dan menunda sidang-sidang Konstituante, segala sesuatu dengan persetujuan Perdana Menteri/Menteri Pertahanan. Tindakan dilaporkan dengan kawat kepada Presiden diluar negeri dan beliau menyatakan persetujuannya, juga terhadap usaha pimpinan AD untuk memproseskan penyelesaian. Ketua Makamah Agung yang ikut rombongan Presiden dikirim kembali ke tanah air untuk membantu usaha itu.
Segera oleh pimpinan AD diadakan pembicaraan dengan pimpinan empat partai besar  : dengan PNI dan Masyumi oleh KSAD, dengan NU dan PKI oleh WAKSAD. Mereka menerima untuk kembali ke UUD’45. Tetapi salah satu diantaranya menghendaki hal itu melalui proses yang tertentu.
PADA saat Presiden kembali, atas usaha Front Nasional Pembebasan Irian Barat – gabungan badan-badan kerja sama militer dengan pemuda, buruh, ulama dan lain-lain yang diketuai oleh KSAD – diadakan sambutan massa rakyat. Presiden menyatakan akan bertindak menuruti “kehendak mayoritas rakyat”.
Hari Ahad 5 Juli 1959 inti kabinet bersidang di Bogor, dengan dihadiri Ketua Makamah Agung serta KSAD. Tercapailah kesepakatan berdasarkan keadaan darurat untuk mengeluarkan dekrit kembali ke UUD ’45.
Tetapi setelah kembali ke UUD ’45, terpusatlah kekuatan d tangan Presiden/Pangti/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS dengan penampilan nasakomisasi yang diungguli oleh “komunisasi”. Maka dalam tahap ini kembalilah saya sebagai seorang pemimpin TNI dewasa itu bertemu dengan Bung Karni, lebih-lebih mengingat kami bersama menjadi sasaran dalam proses tersebut. Bung Karni jadi Dubes di Peking weggeproveerd (istilah pak Kasimo waktu itu) dan saya jadi Menko Hankam/KSAB sehingga berada di luar komando ABRI. Komando ABRI berada sepenuhnya di tangan Pangti/Pangsar Koti dengan staf Koti dipimpin oleh Jenderal Yani yang merangkap Panglima AD.
Sementara itu pihak PKI telah mengusahakan pendobrakan-pendobrakan taktis di lapangan berupa tuntutan mempersenjatai buruh dan tani. Ini berbarengan dengan rentetan “aksi-aksi sepihak” untuk menghantam lawan-lawan dan untuk mencapai posisi semacam “kantung-kantung gerilya” di lapangan. Maka TNI-lah yang merasa lebih dulu “kecolongan”, tetapi Bung Karni-lah yang lebih dulu secara terbuka, terang-terangan mengutuk aksi sepihak itu. Pada awal Januari 1965 di Medan ia nyatakan hal itu kepada pers atas nama Partai Murba. Ia sinyalir bahwa aksi-aksi demikian akan menghancurkan persatuan nasional. Seminggu kemudian Koti mengumumkan bahwa Partai Murba “dilarang” untuk sementara, kemudian dibubarkan.
Demikianlah ! Mengenang Bung Karni ialah mengenangkan masa-masa kritis perjuangan, memang seorang pejuang tidak-lah bisa absen di saat-saat krisis perjuangan.     
*
Heroes represent the best of ourselves, respecting that we are human beings. A hero can be anyone from Gandhi to your classroom teacher, anyone who can show courage when faced with a problem. A hero is someone who is willing to help others in his or her best capacity (Ricky Martin).
 
*

1 komentar: