Jumat, 03 Juni 2016

DIALEKTIKA.1

Ngunandiko.102




DIALEKTIKA
(bagian ke-1)



Dialektika : 1. hal berbahasa dan bernalar dengan dialog sebagai cara untuk menyelidiki suatu masalah ; 2. ajaran Hegel yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang terdapat di alam semesta itu terjadi dari hasil pertentangan antara dua hal dan yang menimbulkan hal lain lagi (Kamus Besar Bahasa Indonesia).


Pada kesempatan ini “Ngunandiko” ingin membahas dan merenungkan “Dialektika”. Sesungguhnya dialektika ini telah beberapa kali  kami perbincangkan bersama teman-teman beberapa waktu yang lalu.  Namun pada kesempatan ini “Ngunandiko” ingin membahas dan merenungkan-nya kembali. 

Mengingat bahasan dan renungan ini cukup panjang, maka akan dibagi menjadi beberapa bagian. Bahasan dan renungan ini menggunakan beberapa catatan yang masih ada, dan beberapa buku sebagai referensi.
Berdasar catatan yang masih ada  tersebut, teman-teman umumnya  sepakat bahwa dialektika adalah cara berpikir, dan berhubungan erat dengan logika. Dialektika dan logika saling melengkapi, sehingga cara berpikir itu dapat  lebih tepat dan lebih lengkap.  

Sebagaimana diketahui dalam membahas (menyelidiki) suatu perkara (masalah), orang semula hanya menggunakan logika (Ilmu Berpikir), dimana semua pertanyaan yang dimajukan untuk dibahas boleh dijawab dengan “YA” atau “TIDAK”. Menurut Logika : ya bukan berarti tidak ; tidak itu sama sekali tidak, bukan berarti ya.

Seperti halnya dalam Ilmu Ukur (Geometri) dan Ilmu Alam (Sederhana) semua pertanyaan boleh dijawab ya atau tidak. Namun dalam Ilmu Hayat (biologi) kita mengetahui ada pertanyaan yang tiada bisa diputuskan dengan jawab  ya  dan  tidak  semata-mata. Kita dapat  meraba-raba saja dan segera menarik tangan kita kembali, jika mengalami jalan buntu.
Belajar filsafat
Kiranya sekarang ada baiknya, jika kita mulai  memeriksa pertanyaan yang tiada bisa lagi dijawab dengan ya atau tidak, yang tiada bisa diselesaikan oleh Logika. Pertanyaan yang tiada bisa lagi diselesaikan oleh Logika ada bermacam-macam, masing-masing mengandung salah satu atau beberapa perkara dibawah ini.
Pertanyaan yang tiada bisa lagi diselesaikan oleh Logika menurut Tan Malaka mengandung :
  • Tempo ;
  • Berseluk-beluk ;
  • Pertentangan ;
  • Pergerakan ;

Untuk memberi gambaran tentang pertanyaan (masalah) yang tiada bisa lagi diselesaikan oleh Logika itu, maka berikut ini kita lihat bersama contoh-contoh sbb:

  • Yang mengandung atau berkaitan dengan “Tempo” :

Kita diajari di sekolah menengah, bahwa “titik” kalau ditarik terus akan menjadi garis dan garis ditarik terus akan menjadi bidang dan bidang yang ditarik terus akan menjadi badan. Semua pekerjaan ini memakai tempo. Kita perlu memakai tempo buat mengubah titik menjadi garis atau garis menjadi bidang dan akhirnya bidang jadi badan. Kalau sudah cukup memakai tempo, kita bisa menjawab mana titik mana garis, mana garis dan mana bidang, mana bidang dan mana banda. Tetapi pada saat dimana titik belum menjadi garis, garis belum menjadi bidang dsb, kita tidak bisa jawab apakah ini titik atau garis dst. garis atau bidang.
Dalam ilmu alam kita mengetahui bahwa air kalau dipanaskan sesudah beberapa lamanya, hilang menjadi uap. Dalam hal ini kita tahu benar, mana yang air, mana yang uap. Tetapi ada saatnya, dimana kita tak bisa menjawab apakah ia itu masih air atau sudah menjadi uap (pada saat mendidih).
Demikian juga hal-nya pertanyaan apakah Thomas-Edison seorang yang pandai ? Pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan YA atau Tidak begitu saja. Sebagaimana kita mengetahui Thomas Alfa Edison itu sewaktu masih kecil (Sekolah Dasar) pernah dikeluarkan dari sekolahnya karena tidak dapat mengikuti pelajaran (bodoh). Namun kita juga tahu setelah dewasa Thomas Alfa Edison adalah seorang yang cerdas di bidang kelistrikan sebagai penemu lampu listrik. Nama Edison di bidang kelistrikan setara dengan Nikola Tesla atau pun Michael Faraday. 

  • Yang berkaitan dengan “Seluk-beluk” :

Sebagaimana diketahui ada perbedaan besar diantara dua ahli Biologi besar, dalam mendekati  persoalan tentang Tumbuhan dan Hewan. Lenxeus (lihat pula Lenxeus) menganggap tiap jenis (spesies) baik Tumbuhan ataupun Hewan, sebagai berdiri sendirinya, tunggal. Tak berkenaan dan tak ada seluk-beluknya dengan jenis lain. Sedangkan Darwin (Darwinism) menganggap sebaliknya, satu sama lain tak bisa dipisahkan, dipancirkan sendirinya. Lenxeus mengganggap masing-masing jenis, sebagai barang yang tetap yang pada satu saat dibuat yang Maha Kuasa. Sedangkan Darwin menganggap masing-masingnya jenis itu berubah sesudah beberapa lama disebabkan oleh Pilihan Alam (Natural Selection). Lenxeus berpendapat bahwa masing-masing jenis mesti diperiksa satu persatunya, terpancir sama sekali dari jenis yang lain-lain. Sebaliknya Darwin memeriksa dan memperalamankan masing-masing jenis dengan tak melupakan perkenaan dan seluk-beluknya jenis itu dnegan jenis yang lain sedetikpun.
Lenxeus setia pada Logika: Hewan ini masuk jenis ini, bukan jenis itu. Kodok ini tak ada seluk-beluk dan perkenannya dengan burung dan seterusnya.
Darwin setia pada Logika, dimana Logika bisa berlaku. Tetapi meninggalkan Logika, kalau Logika tiada berdaya lagi : ini jenis berkenaan dengan itu, seluk-beluk dengan itu, bukan ini atau itu saja. Kodok berkenaan betul dengan burung. Perbandingkanlah tengkorak, tulang-belulang, hati, jantung, dan sebagainya diantara kedua jenis itu. Perhatikanlah tulang belulang dan sekalian anggota Hewan dan cacing sampai ke Manusia. Tidakah kita menjumpai seluk beluk, perkenaan satu sama lainnya?
Perhatikanlah pula jenis Hewan di Papua yang berada di antara binatang yang melahirkan anak hidup-hidup, dengan burung yakni binatang yang bertelur, tetapi menyusukan anaknya. Di Amerika Selatan ada barang setengah Tumbuhan dan setengah Hewan yakni Tumbuhan yang bisa menangkap mangsanya. Dalam laut ada barang setengah benda setengah Tumbuhan.
Hasil pekerjaan Lenxeus, ialah mencadangkan satu system (tata) tumbuhan dan Hewan mati, yang dipelajari oleh pengikut Logika saja terutama pengikut Logika Mistika. Sedangkan teori Darwin menjadi pedoman bekerja buat ahli kebun dan ahli hewan yang tak putus mencangkokkan tanaman dan memilih yang baik, membuang yang buruk, baik Tumbuhan ataupun tampang Hewan, sehingga makin lama, kita mendapat bunga yang lebih harum, buah yang lebih lezat dan hewan yang lebih tegap, kuat, gemuk, berfaedah dan kembang biak (lihat : Ngunandio.149 Burung)

  • Yang berkaitan dengan “Pertentangan” :

Pada Ilmu Ukur (Geometri) dan Ilmu Alam (Sederhana) seperti telah dikemukakan diatas, ya dan tidak itu tak langsung berupa pertentangan yang terang, melainkan mula-mula berupa timbul atau hilang—saat perubahan titik jadi garis, dan air jadi uap. Baru pada kedua perkataan timbul dan hilang ini (weden und vergehen) kata Engels, dia berupa pertentangan.
Pencaharian Arab di daerah tempat Tan Malaka menulis Madilog ini, yakni daerah Jakarta-Selatan, si Arab terutama sekali memperbungakan uang kepada umum dipasar-pasar, dipinjamkan oleh Arab itu pada Indonesia uang satu rupiah (Rp 1,00) dengan bunga 5 sen (Rp 0.05) sehari.
Bunga itu kecil, tetapi menurut perhitungan Matematika bunga semacam itu adalah 1,825% setahun. Ini menurut Logika, menurut hitungan bunga berbunga pula (samengestelde interest). Dengan kerja semacam itu dari turunan keterurunan, mereka (Arab) menjadi kaya, kaya raya mempunyai tanah dan rumah. Tentu bukan satu kali  contoh itu terjadi, tetapi yang telah terjadi semenjak Arab ini meninggalkan Tanah Suci dan mencemarkan kaki-nya di tanah kita yang dianggap oleh-nya tidak suci ini.
Sebagai contoh seorang tuan tanah Arab, kita namakan saja Halal bin Fulus, sudah lama meminjamkan uang pada seorang petani Indonesia. Petani menanggungkan tanah dan rumahnya atas pinjaman itu. Dia tak bisa melunaskan hutangnya. Membeli makanan dan pakaian dan membayar pajak pada pemertintah Belanda saja, sebetulnya tak bisa ditutup dengan hasil tanahnya yang sebidang kecil itu. Belum lagi keperluan luar biasa pada umat Islam, seperti menyunat, mengawinkan anak dan merayakan Hari Besar Islam (Lebaran) menuntut ongkos luar biasa yang bagaimana juga rajinnya dia bekerja tak bisa dipenuhi lagi. Terpaksa ia meminjam uang lagi kepada tuan Halal bin Fulus dari Tanah Suci yang seagama dengan dia. Bagaimana melunaskan hutang dan bunganya yang makin lama bertambah-tambah itu?. Tuan Halal bin Fulus yang tahu pula akan sifatnya petani Indonesia,  tak keberatan utang        si Petani itu  melebihi harga tanggungan. Tetapi pada satu ketika harga tanah pekarangan dan rumah petani sampai menjadi kurang atau hampir sama dengan hutang bunganya. Disini tuan Fulus, terhadap Petani seagama atau tidak, dengan manis atau suara keras, hutang mesti dibayar.
Kalau kebetulan petani ada mempunyai anak perawan yang cocok sama perasaan tuan Fulus, suka atau tak suka si perawan, karena petani kebuntuan jalan, perkara hutang mungkin dihabiskan dengan perdamaian diantara tuan Fulus dengan petani Indonesia berdua saja. Tetapi kalau petani kebetulan punya anak bujang saja, atau kalau ada perawan yang cantik tetapi jika si ayah meskipun kemauan anaknya yang tak mau dikawinkan dengan tuan Fulus yang sudah tua dan beberapa kali kawin itu, maka disini timbullah percekcokan. Tuan Halal bin Fulus kita andaikan marah dan pergi mengadu ke Pengadilan.
Perkara diperiksa. Kalau perlu tuan Fulus mencari advokad (lawyer) yang pintar; arief bisaksana, yang tentu akan berusaha keras, menuntut nilai pembayarannya. Dalam 99 diantara 100 perkara semacam itu, tentulah tuan Halal bin Fulus berasal dari tanah Suci, yang menang. Petani yang tak kuasa membeli beras atau sehelai pakaian buat anak bini masa Lebaran, kalau tak meminjam lebih dahulu pada tuan Fulus, manakah bisa bayar advokat. Pengadilan umpamanya memutuskan, bahwa si-tani mesti menjual tanah, pekarangan, rumah dan perabotan kalau ada; sapi atau ayampun kalau ada, buat membayar hutangnya.
Contoh yang telah diuraikan panjang lebar diatas sesungguhnya adalah belum seberapa,  banyak  sekali peristiwa semacam itu yang terjadi di pulau Jawa dan penting buat kehidupan orang Indonesia.
Sekarang kita bertanya : Adilkah putusan Hakim Pengadilan tadi?
Inilah salah satu dari pertanyaan (masalah) yang tiada boleh dijawab dengan ya, dan tidak saja. Karena pertanyaan itu berkenaan dengan perkara yang berhubungan dengan masyarakat yang bertentangan diantara : Yang berpunya dengan Tak berpunya.
Tuan Fulus Muslimin yang Berpunya, sebagian besar dari kaum Ulama dan Pemerintah berdasar “kepunyaan sendiri”, tentulah 100% membenarkan putusan itu. Petani berhutang dan hutang mesti dibayar. Ini cocok dengan semua Undang kemodalan dan cocok dengan semua Agama.
Sebaliknya filsafat kaum Tak Berpunya atau Undang kaum Tak berpunya (dimana kaum Tak berpunya menguasai Negara, 100 % pula) akan memutuskan bahwa putusan Hakim itu “tidak” adil.

Tan Malaka berpendapat, seandainya ia berkuasa mengambil putusan, maka ia akan menyuruh pilih saja satu dari dua putusan sbb :
Pertama, karena tuan Halal bin Fulus bukan bangsa Indonesia, supaya pulang kembali ke Tanah Suci dengan diizinkan membawa sekedarnya dari harta bendanya, atau
Kedua : tuan Halal bin Fulus boleh tinggal disini, tetapi mesti mengembalikan semua hartanya pada Negara Indonesia. Dalam hal kedua, maka dia harus lebih dahulu mesti dijadikan “manusia yang berguna buat masyarakat Indonesia”, yaitu dengan menjadikan  dia bukan paraciet, shylock, lintah-darat, tetapi menjadikan “pekerja”. Sesudah itu baru boleh diterima menjadi penduduk yang sama haknya dengan “pekerja” yang lain-lain.
Pendeknya dalam perkara diantara dua pokok yang bertentangan, kita tidak bisa menjawab dengan ya atau  tidak (benar atau salah, adil atau dhalim), sebelum kita mengambil pendirian, mengambil penjuru dari mana kita mesti memandang (point of view). Apa yang dipandang adil dari satu pihak, berarti tak adil dipandang dari pihak yang lain, dan sebaliknya. Sebab itu kita mesti lebih dahulu berpihak pada yang lain,  menentukan POINT OF VIEW. Dari salah satu sudut barulah kita bisa memandang dan memutuskan ya atau tidak.


        . . . . . pertanyaan yang tiada boleh dijawab dengan ya atau tidak saja. Dari sinilah timbulnya Dialektika, yang juga pernah dinamakan Ilmu Berpikir dalam Gerakan. Dalam hal semacam ini kita mesti menjawab ya dan tidak. Bukan saja ya atau hanya tidak, tetapi ya dan tidak keduanya.

  • Yang berkaitan dengan “Pergerakan” :

Satu bola, berguling, bergerak, pada satu saat kita bertanya: Apakah bola ini pada saat ini disini atau tidak disini?
Inilah pertanyaan yang tiada boleh dijawab dengan ya atau tidak saja. Dari sinilah timbulnya Dialektika, yang juga pernah dinamakan Ilmu Berpikir dalam Gerakan. Dalam hal semacam ini kita mesti menjawab ya dan tidak. Bukan saja ya atau hanya tidak, tetapi ya dan tidak keduanya. sebab kalau kita jawab ya maka hal ini bertentangan dengan keadaan bola yang bergerak. Bola yang bergerak tentulah tidak disini lagi. Kalau sebaliknya kita jawab tidak, maka hal ini mesti bertentangan dengan pertanyaan kita sendiri. Karena kita bertanya, apakah pada saat ini bola itu ada disini, dan memang ada disini.
Jadi dalam semua benda yang bergerak, kita mesti memakai Dialektika. Kita mesti ketahui, bahwa semua benda di dunia ini tak ada yang tetap, semuanya berubah, bergerak. Tumbuhan muncul dari bijinya, tumbuh, berbuah, dan mati, zatnya kembali ke tanah, ke air dan ke udara. Hewan lahir, tumbuh, beranak, tua, mati dan zatnya kembali ke tanah. Logam berkarat dan luntur. Bintang yang sebesar-besarnya bergerak pada sumbunya sendiri.
Bumi bergerak mengelilingi Bintang, ialah Matahari. Atom yang kecil itupun tiadalah tetap, melainkan bergerak juga. Begitu juga kodrat, berubah bentuknya dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Sekarang kodrat itu berupa panas, nanti dia berupa sinar, sebentar lagi bertukar berupa cahaya. Sekarang kodrat itu tersembunyi dalam air, nanti dalam uap. Disini kodrat panas atau sinar tersembunyi dalam listerik, disana pada benda menyala. Begitulah seterusnya, seperti kata Engels dalam Anti Duhring: “seluruhnya Gerakan Alam itu boleh diickhtiarkan dengan “peralihan” kodrat yang tiada putus-putusnya dari satu bentuk ke bentuk yang lain”. Banyak sekali pemikir mengichtisarkan Alam kita ini dengan : “Matter in move”, benda bergerak, karena gerakanlah yang jadi sifat benda yang terutama, maka Dialektikalah Hukum Berpikir yang terutama sekali.
Pada empat perkara tersebut diataslah timbulnya persoalan Dialektika ; Kalau dipandang dari penjuru tempo, maka Dialektika itu boleh juga kita namai Ilmu Berpikir Berlainan, yaitu dalam hal berpikir yang memperhatikan tempo dimasa sesuatu benda, tumbuh dan hilang, hidup dan mati ;
Kalau dipandang dari penjuru kena-mengena dan seluk-beluknya sesuatu benda dengan benda lain, maka Dialektika tadi boleh pula dikatakan Ilmu Berpikir yang dalam hal Kena-mengena ; Dalam hal berseluk-beluk (verkettung und Zusammenhang, kata Engels), bukan sendiri.
Sering sekali pula Dialektika dinamai pula Ilmu Berpikir Pertentangan.
Dan seperti sudah kita katakan diatas juga pernah dinamai Ilmu Berpikir dalam Gerakan.
Engels mengatakan : “kita mesti mempelajari suatu benda dengan memperhatikan “pertentangannya, kena-mengenanya serta seluk-beluknya, pergerakannya, tumbuh dan hilangnya”.
Dialektika dan logika : Bilakah dipakai Dialektika dan bilakah dipakai Logika?
Sungguhpun “Dialektika” adalah yang utama menguasai daerah kita berpikir, namun tidak berarti bahwa “Logika” tidak berguna sama sekali. Disini belum tempatnya buat menguraikan Logika, tetapi kita tiada pula asing lagi sama Logika itu.
Cara yang kita kemukakan yang dipakai dalam Ilmu Alam ialah cara yang diutamakan dalam Logika. Kita masih ingat tiga cara  itu, yakni ;
  • Induction ;
  • Deduction ; dan
  • Verification.

Sementara itu tiga cara yang diutamakan dalam Logika yang dipakai dalam Matematika, ialah :
  • Synthetic ;
  • Analytic ; dan
  • ad Absurdum.

Buat menjawab pertanyaan diatas (Bilakah dipakai Dialektika dan bilakah dipakai Logika?), tiadalah perlu kita lebih dahulu menguraikan Logika yang lebar dan dalam. Cukuplah kalau kita majukan disini sifat Logika yang terutama dan bertentangan dengan sifat Dialektika. Menurut Logika ya itu ya dan ya itu bukan tidak ; bentuk itu tidak lazim dipakai dalam buku Logika, namun maknanya sama.
Bentuk yang lazim dipakai (dalam buku-buku) buat menggambarkan Logika adalah  A = A ; A bukan Non A (tidak A). Jadi Hukum berpikir yang berbentuk A bukan Non A itu, sama maknanya dengan ya itu bukan tidak. Dalam buku Logika juga sering dikatakan “sesuatu barang bukanlah lawannya barang itu”, “a thing is not its opposite”. Tetapi diatas telah diterangkan, bahwa sesuatu barang itu boleh lawannya barang itu, A itu boleh Non A, ya itu boleh berarti tidak; bola bergerak itu pada satu saat boleh disini dan tak disini. Pada satu saat orang itu boleh hidup dan mati. Pada satu waktu air itu boleh air atau uap dsb.
Bagaimana kita bisa damaikan kedua “Hukum Berpikir” yang berlawanan satu sama lainnya itu? Atau mereka tidak bisa didamaikan, sehingga kalau yang satu hidup yang lainnya mesti mati? Kalau yang satu dipakai yang lain mesti dibuang? Atau bolehkah masing-masing kita beri daerahnya, sehingga kita bisa mengatakan bahwa pada daerah ini kita pakai terutama Dialektika, dan pada daerah itu kita pakai terutama Logika?
Memang kita bisa menentukan daerah masing-masing dan pada daerah masing-masing berkuasa salah satunya “Hukum Berpikir” itu. Tetapi tiadalah masing-masing berkuasa dengan sewenang-wenang, melainkan mengakui kekuasaan pihak yang lain dan berseluk-beluk juga dengan yang lain itu. Bahwasanya dalam Ilmu Gerakan sendiri, yakni dalam Ilmu Kodrat sebenarnya dalam Mechanikal timbul Dialektika. Disinilah Dialektika mempunyai daerah yang luas sekali. Ilmu benda-berhenti masuk ke daerah Statics. Pada benda yang berhenti yang boleh diperamati dengan tenang ini, berkuasa sekali Logika. A= A dan A bukan Non A.
Ueberweg
Seperti  kita ketahui, bahwa pada Matematika dan Ilmu Alam rendahan dan tengah, besar sekali kekuasaannya Logika. Sedangkan pada Matematika dan Ilmu Alam tertinggi, kita terutama mesti lari pada Dialektika. Pemikir logika yang sering dimajukan oleh Plekhanov (Plechanoff), sebelum bercerai, adalah guru dan kawan separtainya Lenin, ialah Ueberweg. Memang Friedrich_Ueberweg jitu sekali mendifinisikan Logika, sesudah Ilmu ini dia bandingkan dengan Dialektika.
Kata Ueberweg : pertanyaan yang pasti dan berpengertian pasti apakah satu sifat termasuk pada satu benda, mesti dijawab dengan ya atau tidak.
Marilah kita ambil satu misal buat menterjemahkan definisi Ueberweg itu. Misalkan dihadapan kita ada satu kotak. Kotak itu seperti biasa mempunyai 6 (enam) sisi. Sisi depan dan belakang dicat putih, serta sisi kiri dan kanan dicat hitam. Kalau kita mesti bertanya menurut Ueberweg, kita mesti menyusun persoalan kita seperti dibawah ini:

Apakah warna kotak ini, kalau dipandang dari muka? Jawab putih.
Kalau dipandang dari sisi kiri? Jawab hitam.

Dengan begitu pertanyaan kita adalah pasti. Kita tanyakan warnanya kotak kalau dipandang dari satu pihak, bukan warna seluruhnya kotak itu, hanya warna sebagiannya dari kotak tadi. Jawabnya yaitu putih juga pasti, karena putih bukan hitam (A = A dan A bukan Non A). Dengan begitu kita memenuhi definisi Ueberweg seperti diatas. Warna kotak kalau dipandang dari muka, jadi sebagian kotak adalah putih bukan hitam.
Kalau pertanyaan itu mesti disusun buat seluruhnya kotak dan cocok pula dengan definisi Ueberweg, kita mesti susun :

Apakah warna seluruh kotak itu kalau kita pandang dari satu sudut?
Disini Ueberweg gagal. Dia tidak bisa menjawab secara Logika, sebab disini kita bertemu dengan perkara yang berseluk-beluk. Pertanyaan seperti ini kita mesti jawab dengan putih dan hitam, ialah putih dan tak putih, A dan Non A. Jawabnya kembar, tak bisa dipisahkan.

Tetapi Ueberweg juga cerdik dan bukan keras kepala. Pada tempat lain, sesudah berpengalaman lebih banyak, dia juga terangkan kira-kira : Kalau bertemu perkara yang simple, mudah, kita mesti pakai Logika, tetapi kalau berjumpakan yang sulit, complex, kita mesti pakai perpaduan dari dua pertentangan. Dia tiada menyatakan Dialektika, melainkan perpaduan dua pertentangan, ialah perpaduan putih dan hitam, A dan Non A yang menurut definisi Ueberweg bermula, tiada boleh terjadi.

Begitu juga dalam perkara yang termasuk ke dalam daerah pertentangan, maka kita lebih dahulu mesti tentukan Dialektika dan Logika masing-masingnya.
Kalau ditanya dengan pasti, bagaimanakah putusan Hakim terhadap tuan Halal bin Fulus dengan petani tadi, kalau dipandang dari pihak Kaum Berpunya, maka kita boleh jawab dengan pasti: ya.
Kalau sebaliknya ditanya dengan pasti pula, apakah putusan itu, kalau dipandang dari pihak Kaum Tak Berpunya, kita juga bisa jawab dengan pasti pula: tidak. 
Kedua jawab itu pasti, cocok dengan Logika:  ya itu ya ; tidak itu tidak; ya bukan tidak. (A = A ; A itu bukan Non A). Jadi dalam daerah yang pasti ini, ialah dalam daerah salah satu pihak di antara dua pihak yang bertentangan, maka kita boleh menjalankan Logika.

Tetapi dalam bulatnya, abstraknya, pertanyaan tadi sudah tak bisa lagi diselesaikan dengan Logika. Kita mesti lari kepada Dialektika. Jadi kalau kita bertanya bulatnya saja, apakah putusan Hakim tadi adil, maka tiadalah lagi bisa diajwab dengan ya atau tidak saja. Kita mesti jawab dengan ya dan tidak, dengan A dan non A, kembar. Seorang penjawab berdarah Dialektika, walaupun belum dapat latihan Dialektika, juga menjawab pertanyaan semacam itu dengan pertanyaan pula. Dia bertanya dipandang dari pihak manakah adil atau tidaknya? Dalam pertanyaan yang semacam ini, sudah terkandung jawab yang pasti pula.
Buat penglaksanaan contoh penghabisan, kita ambil perkara yang berkenaan dengan tempo. Memang tempo penting dalam semua persoalan. Bukan saja “Scientist” yang tajam, tetapi juga “Strategist”, ahli perang, yang maha tangkas dan Diplomat yang piawai (ulung) tiada boleh melupakan Sang Tempo. Buat contoh tiadalah perlu kita panggil kesini Strateg atau Diplomat.

Marilah kita ambil barang biasa saja, seperti air. Kita tahu air dapat memutar roda kincirnya orang Minangkabau, tetapi air saja berapapun kuatnya dialirkan, tak bisa memutar roda Lokomotif yang berat itu yang mesti menarik sepuluh atau lebih gerobak penuh muataan pula. Air itu mesti dimasak dahulu dalam ketelnya Lokomotif  sampai jadi uap. Uap ini dengan memakai kecerdikan tehnik bisa memutar roda tadi terus-menerus, dari Jakarta sampai ke Surabaya, kalau perlu sepuluh kali lebih jauh. Jadi uap yang memutar roda Lokomotif tadi bukan air, walaupun uap tadi berasal dari air, dan air ini kalau dimasak cukup lama, jadi cukup membiarkan Sang Tempoh bekerja, akan jadi air uap. Sekarang akan kita pakai “Kunci-Ueberweg” buat menyelesaikan persoalan yang pasti seperti berikut :

Bisakah air memutar roda lokomotif? Kita jawab dengan pasti, tidak.
Kalau sebaliknya ditanya dengan pasti juga: bisakah uap keluar dari ketel lokomotif kita tadi, yakni kalau cukup banyak, memutar rodanya? Kita jawab dengan pasti pula, bisa (kalau lokomotif rusak tentu jawabnya pula rusak!).
Tetapi pada saat Sang Tempo, dimasa Sang Tempoh belum lagi berkesempatan menjalankan kewajibannya pada saat, dimasa air tadi sedang bertukar jadi uap, di masa sebagian air sedang jadi uap, dan uap masih lekat pada air, pada saat dimasa panasnya air tepat 100 derajat, disini Ueberweg gagal.

Kalau kita pakai “Kunci-Ueberweg” dan bertanya: Bisakah uap kita semacam ini memutar roda lokomotif, kita tidak bisa jawab dengan ya atau tidak saja, tetapi kita pakai Kunci-Dialektika dengan menyelesaikan jawabanya dengan ya dan tidak, kembar. Tidak bisa yakni pada saat ini, pada satu saat, persis, tepat pada panasnya air 100 º. Pada saat ini Sang Tempo belum beres lagi kerjanya dan Sang Lokomotif masih mendesus-desus, seperti naga marah, dan Bung Masinis masih menunggu dengan sabar. Tetapi belum habis perkataan tidak bisa tadi dikeluarkan dari mulut si penjawab, roda lokomotif sudah bergerak, seolah-olah membatalkan jawab tak bisa tadi dengan perkataan bisa. Jadi pada saat panas air persis, tepat 100 º C tadi (umpamanya saja) jawab pertanyaan kita mesti bisa dan tak bisa, ya dan tidak, kembar, berpadu. Pada saat ini berkuasalah Dialektika: A = Non A.
Penjawab yang berdarah Dialektika walaupun belum latihan juga tiada melupakan tempo dalam perkara yang berkenaan dengan tempo. Pertanyaan: Bisakah uap air dimasak memutar lokomotif, akan dijawabnya dengan pertanyaan pula; sesudah berapa lama? Sesudah Sang Tempo dipastikan, barulah bisa dipastikan ya atau tidaknya. Pada daerah inilah berlaku Hukum Logika A = A ; A bukan Non A


Seperti diketahui yang diakui sebagai Ahli Dialektika berdasarkan pikiran pada Zaman Baru, ialah Hegel. Nama, arti dan cara Dialektika itu (cara Hegel) memang sudah tidak asing lagi pada zaman Yunani ; tetapi di tangan Hegel, makna dan bentuknya sudah berlainan.

Dialektika itu dapat dibedakan menjadi dua yaitu DIALETIKA IDEALISTIS dan DIALEKTIKA MATERIALISTIS.
Seperti diketahui yang Pertama ; DIALETIKA IDEALISTIS, berdasarkan Idee, pikiran belaka, impian belaka, yang Kedua ; DIALEKTIKA MATERIALISTIS, berdasarkan benda. Yang pertama dimonopoli oleh kaum yang memonopoli kekuasaan, harta dan kecerdikan. Yang kedua memonopoli tindasan, kemiskinan dan kegelapan.
Seperti diketahui yang diakui sebagai Ahli Dialektika berdasarkan pikiran pada Zaman Baru, ialah Hegel. Nama, arti dan cara Dialektika itu (cara Hegel) memang sudah tidak asing lagi pada zaman Yunani ; tetapi di tangan Hegel, makna dan bentuknya sudah berlainan.
ARIESTOTELES, HERACLIT dan DEMOCRIT digelari si gelap, sebab mulanya orang tak mengerti uraian yang dalam dan dialektis itu. Mereka banyak memakai perkara (uraian yang dalam dan dialektis) itu.
Diantara pemikir Timur, baik di India ataupun di Tiongkok, ada juga yang sudah cakap memakai senjata berpikir ini. Tetapi sudah tentu, berdasarkan kegaiban semata-mata.
Hegel menyandarkan nama dan pengertian Dialektika itu pada kata dialogue, soal jawab, terutama dalam persoalan filsafat. Soal jawab dalam persoalan tentang Hidup dan Alam, Life and Universe Kuno (Fischer) yang dikutip oleh Plechanoff dalam buku “Beberapa Dasar Marxisme” berkata kira-kira :
“Dengan bertambahnya umur dan pengalaman, maka pengetahuan manusia tentang Hidup dan Alam, bertambah-tambah seperti pengetahuan dua pihak pada satu soal-jawab yang hangat dan berguna”.
Soal jawab yang hangat dan berguna, yang menambah pengetahuan kedua belah pihak inilah dialogue. Semacam inilah yang tergambar di otak manusia, yang dinamai DIALEKTIKA. DIALEKTIKA di tangan Hegel, pada abad ke XIX, dimana Science, Tehnik dan Kesenian, jauh berbeda dengan kebudayaan Yunani + 2.400 tahun lebih dahulu, atau dengan Timur. DIALEKTIKA di tangan Hegel itu sudah tentu lebih kaya dan lebih tersusun dari pada DIALEKTIKA Yunani atau Timur Asli itu.
Apakah perbedaan dan persamaan Dialektika Hegel dkk dan Marx-Engels dkk. Hegel dalam bukunya LOGIKA JILID I mendefinisikan Dialektika, kalau di-Indonesiakan berbunyi kira-kira: Yang kita namakan Dialektika ialah gerakan pikiran dimana yang seolah-olah tercerai itu, sendirinya oleh sifat sendiri, yang satu memasuki yang lain, dan dengan begitu membatalkan perceraian itu.
Dialektika itu masuk jenis gerakan pikiran, geistiche bewegung. Buat Marx, Dialektika itu bukanlah semata-mata gerakan pikiran, melainkan  Hukum dari Wirkliche Logik der wirkliche gegenstande, Hukum berpikir sebenarnya, tentang benda sebenarnya. Kata Engels  berulang-ulang: Bayangan gerakan “benda sebenarnya” dalam otak kita, otak kita itu seolah-olah cermin membayangkan gerakan benda tadi. Atau pikiran kita menterjemahkan gerakan di luar itu dengan bahasanya sendiri.
Jadi perbedaan utama antara Dialektika Marx-Engels dkk dan gurunya Hegel, ialah :
Hegel menganggap gerakan pikiran itu sebagai gerakan idee semata-mata (janganlah dilupakan absoluut Idee, Maha Rohani dari Hegel), sedangkan Marx dan Engels menganggap otak itu seolah-olah cermin yang membayangkan gerakan benda sebenarnya yang ada diluar otak kita.
Dalam perbedaan diantara kedua jenis Dialektika itu, ada pula persamaan. Kedua pihak berdiri atas gerakan, bukan pada ketetapan. Kedua yang seolah-olah tercerai itu, menurut Hegel oleh sifatnya sendiri, yang satu memasuki yang lain, dan getrennt scheinende, durch sich selbst, durch das, was sich sind in einander ubergehen.
Jadi “adil” itu adanya, karena ada “dhalim”, ya itu berkenaan dengan tidak. Keduanya berseluk-beluk, yang satu mengenai yang lain. Oleh karena adil dan dhalim tadi kena-mengenai, masuk-memasuki, maka perceraian tadi terbatas, yang berupa bercerai tadi, jadi berpadu. A jadi Non A; ya  itu padu dengan tidak.
Pergerakan adil dan dhalim dalam otak kita semacam itu, juga diakui oleh Marx dan Engels. Disini juga ada persamaan: Kedua pengertian yang berupa terpisah itu, sebetulnya bisa berpadu. Tetapi oleh Marx dan Engels perpaduan itu dianggap sebagai hasil perjuangan dua benda yang nyata, ialah dua klas dalam masyarakat. Perpaduan itu bukan terjadi dengan damai, seperti diterjemahkan kebanyakan pengikut Hegel sendiri. Hegel sendiri seperti sudah dinyatakan, revolusioner terhadap kaum Ningrat, tetapi reaksioner terhadap kaum Tak Berpunya.
Perpaduan itu ialah sebagai hasil perjuangan, menurut Engels, sebagai hasil yang lebih tinggi derajatnya dari yang sudah, sebagai positive Result. “Negation der Negation” dari Hegel sendiri “Pembatalan dari Kebatalan” juga mempunyai derajat yang lebih tinggi dari thesis atau anti-thesis sendiri-sendirinya. Tetapi pembatalan kebatalan ini buat Hegel semata-mata berdasarkan pikiran. Sedangkan buat Marx-Engels yaitu berdasarkan benda.
Pada masa belum ada perpecahaan antara Stalin-Trotsky dalam kalangan Komintern, Thalheimer (sebagai ahli Komunis Jerman yang terkemuka) dalam salah satu tulisan, mendefinisikan : Dialektika itu, bukanlah saja berbentuk Ilmu Berpikir, yakni Ilmu tentang Undangnya Gerakan Pikiran, tetapi juga Ilmu dari Undangnya Alam dan Sejarah Bergerak. Alam dan Sejarah inilah yang pertama dan dimukalah, sedang (Gerakan Pikiran) yang kedua. Definisi ini cocok dengan Engels, bahwa undang gerakan Alam dan sejarah itu, ialah yang pertama itu, terbayang diotak kita, seperti terbayang pada cermin (bersambung).

*
The spirit of a nation is reflected in its history, its religion, and the degree of its political freedom. The improvement of individual morality is a matter involving one’s private religion, one’s parents, one’s personal efforts, and one’s individual situation. The cultivation of the spirit of the people as a whole requires in addition the respective contributions of folk religion and political institutions. (Hegel : Prospects for a Folk Religion -1793)

*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar