Ngunandiko.102
DIALEKTIKA
(bagian ke-1)
Dialektika : 1. hal berbahasa dan bernalar dengan dialog sebagai cara untuk menyelidiki suatu masalah ; 2. ajaran Hegel yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang terdapat di alam semesta itu terjadi dari hasil pertentangan antara dua hal dan yang menimbulkan hal lain lagi (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Sebagaimana
diketahui dalam membahas (menyelidiki) suatu perkara (masalah), orang semula hanya
menggunakan logika (Ilmu Berpikir), dimana semua pertanyaan yang dimajukan
untuk dibahas boleh dijawab dengan “YA” atau “TIDAK”. Menurut Logika : ya bukan berarti tidak ; tidak itu sama sekali tidak,
bukan berarti ya.
Seperti halnya
dalam Ilmu Ukur (Geometri) dan Ilmu Alam (Sederhana) semua pertanyaan boleh
dijawab ya atau tidak. Namun dalam Ilmu Hayat (biologi) kita mengetahui ada
pertanyaan yang tiada
bisa diputuskan dengan jawab ya dan tidak semata-mata. Kita dapat meraba-raba saja dan segera menarik tangan
kita kembali, jika mengalami jalan buntu.
Belajar filsafat |
Pertanyaan yang tiada bisa
lagi diselesaikan oleh Logika menurut Tan Malaka mengandung :
- Tempo ;
- Berseluk-beluk ;
- Pertentangan ;
- Pergerakan ;
Untuk memberi gambaran
tentang pertanyaan (masalah) yang tiada bisa lagi diselesaikan oleh Logika itu,
maka berikut ini kita lihat bersama contoh-contoh sbb:
- Yang mengandung atau berkaitan dengan “Tempo” :
Kita diajari di sekolah menengah, bahwa “titik” kalau
ditarik terus akan menjadi garis dan garis ditarik terus akan
menjadi bidang dan bidang yang ditarik terus akan
menjadi badan. Semua pekerjaan ini memakai tempo. Kita perlu
memakai tempo buat mengubah titik menjadi garis atau garis menjadi bidang dan
akhirnya bidang jadi badan. Kalau sudah cukup memakai tempo, kita bisa menjawab
mana titik mana garis, mana garis dan mana bidang, mana bidang dan mana banda.
Tetapi pada saat dimana titik belum menjadi garis, garis belum menjadi bidang
dsb, kita tidak bisa jawab apakah ini titik atau garis dst. garis atau bidang.
Dalam
ilmu alam kita mengetahui bahwa air kalau dipanaskan sesudah beberapa lamanya,
hilang menjadi uap. Dalam hal ini kita tahu benar, mana yang air, mana yang
uap. Tetapi ada saatnya, dimana kita tak bisa menjawab apakah ia itu masih air
atau sudah menjadi uap (pada saat mendidih).
Demikian
juga hal-nya pertanyaan apakah Thomas-Edison seorang yang
pandai ? Pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan YA atau Tidak begitu saja. Sebagaimana
kita mengetahui Thomas Alfa Edison itu sewaktu masih kecil (Sekolah Dasar)
pernah dikeluarkan dari sekolahnya karena tidak dapat mengikuti pelajaran
(bodoh). Namun kita juga tahu setelah dewasa Thomas Alfa Edison adalah seorang yang cerdas di bidang kelistrikan sebagai penemu lampu listrik. Nama Edison di bidang kelistrikan setara dengan Nikola Tesla atau pun Michael Faraday.
- Yang berkaitan dengan “Seluk-beluk” :
Sebagaimana diketahui ada perbedaan besar diantara dua ahli Biologi besar, dalam
mendekati persoalan tentang Tumbuhan dan
Hewan. Lenxeus (lihat pula Lenxeus) menganggap tiap jenis (spesies) baik Tumbuhan ataupun Hewan,
sebagai berdiri sendirinya, tunggal. Tak berkenaan dan tak ada seluk-beluknya
dengan jenis lain. Sedangkan Darwin (Darwinism) menganggap sebaliknya, satu sama lain tak
bisa dipisahkan, dipancirkan sendirinya. Lenxeus mengganggap masing-masing
jenis, sebagai barang yang tetap yang pada satu saat dibuat yang Maha Kuasa.
Sedangkan Darwin menganggap masing-masingnya jenis itu berubah sesudah beberapa
lama disebabkan oleh Pilihan Alam (Natural Selection). Lenxeus berpendapat
bahwa masing-masing jenis mesti diperiksa satu persatunya, terpancir sama
sekali dari jenis yang lain-lain. Sebaliknya Darwin memeriksa dan memperalamankan
masing-masing jenis dengan tak melupakan perkenaan dan seluk-beluknya jenis itu
dnegan jenis yang lain sedetikpun.
Lenxeus
setia pada Logika: Hewan ini masuk jenis ini, bukan jenis itu. Kodok ini tak
ada seluk-beluk dan perkenannya dengan burung dan seterusnya.
Darwin
setia pada Logika, dimana Logika bisa berlaku. Tetapi meninggalkan Logika,
kalau Logika tiada berdaya lagi : ini jenis berkenaan dengan itu, seluk-beluk
dengan itu, bukan ini atau itu saja. Kodok berkenaan betul dengan burung.
Perbandingkanlah tengkorak, tulang-belulang, hati, jantung, dan sebagainya
diantara kedua jenis itu. Perhatikanlah tulang belulang dan sekalian anggota
Hewan dan cacing sampai ke Manusia. Tidakah kita menjumpai seluk beluk,
perkenaan satu sama lainnya?
Perhatikanlah
pula jenis Hewan di Papua yang berada di antara binatang yang melahirkan anak
hidup-hidup, dengan burung yakni binatang yang bertelur, tetapi menyusukan
anaknya. Di Amerika Selatan ada barang setengah Tumbuhan dan setengah Hewan
yakni Tumbuhan yang bisa menangkap mangsanya. Dalam laut ada barang setengah
benda setengah Tumbuhan.
Hasil
pekerjaan Lenxeus, ialah mencadangkan satu system (tata) tumbuhan dan Hewan
mati, yang dipelajari oleh pengikut Logika saja terutama pengikut Logika Mistika.
Sedangkan teori Darwin menjadi pedoman bekerja buat ahli kebun dan ahli hewan
yang tak putus mencangkokkan tanaman dan memilih yang baik, membuang yang
buruk, baik Tumbuhan ataupun tampang Hewan, sehingga makin lama, kita mendapat
bunga yang lebih harum, buah yang lebih lezat dan hewan yang lebih tegap, kuat,
gemuk, berfaedah dan kembang biak (lihat : Ngunandio.149 Burung)
- Yang berkaitan dengan “Pertentangan” :
Pada Ilmu Ukur
(Geometri) dan Ilmu Alam (Sederhana) seperti telah dikemukakan diatas, ya dan tidak itu tak langsung berupa pertentangan
yang terang, melainkan mula-mula berupa timbul atau hilang—saat perubahan titik
jadi garis, dan air jadi uap. Baru pada kedua perkataan timbul dan
hilang ini (weden und vergehen) kata Engels, dia berupa pertentangan.
Pencaharian
Arab di daerah tempat Tan Malaka menulis Madilog ini, yakni daerah Jakarta-Selatan,
si Arab terutama sekali memperbungakan uang kepada umum dipasar-pasar,
dipinjamkan oleh Arab itu pada Indonesia uang satu rupiah (Rp 1,00) dengan
bunga 5 sen (Rp 0.05) sehari.
Bunga
itu kecil, tetapi menurut perhitungan Matematika bunga semacam itu adalah
1,825% setahun. Ini menurut Logika, menurut hitungan bunga berbunga pula
(samengestelde interest). Dengan kerja semacam itu dari turunan keterurunan,
mereka (Arab) menjadi kaya, kaya raya mempunyai tanah dan rumah. Tentu bukan
satu kali contoh itu terjadi, tetapi yang
telah terjadi semenjak Arab ini meninggalkan Tanah Suci dan mencemarkan kaki-nya
di tanah kita yang dianggap oleh-nya tidak suci ini.
Sebagai contoh seorang tuan tanah Arab, kita
namakan saja Halal bin Fulus, sudah lama meminjamkan uang pada seorang petani
Indonesia. Petani menanggungkan tanah dan rumahnya atas pinjaman itu. Dia tak
bisa melunaskan hutangnya. Membeli makanan dan pakaian dan membayar pajak pada
pemertintah Belanda saja, sebetulnya tak bisa ditutup dengan hasil tanahnya
yang sebidang kecil itu. Belum lagi keperluan luar biasa pada umat Islam,
seperti menyunat, mengawinkan anak dan merayakan Hari Besar Islam (Lebaran)
menuntut ongkos luar biasa yang bagaimana juga rajinnya dia bekerja tak bisa
dipenuhi lagi. Terpaksa ia meminjam uang lagi kepada tuan Halal bin Fulus dari
Tanah Suci yang seagama dengan dia. Bagaimana melunaskan hutang dan bunganya
yang makin lama bertambah-tambah itu?. Tuan Halal bin Fulus yang tahu pula akan
sifatnya petani Indonesia, tak keberatan
utang si Petani itu melebihi harga tanggungan. Tetapi pada satu
ketika harga tanah pekarangan dan rumah petani sampai menjadi kurang atau
hampir sama dengan hutang bunganya. Disini tuan Fulus, terhadap Petani seagama
atau tidak, dengan manis atau suara
keras, hutang mesti
dibayar.
Kalau kebetulan petani ada mempunyai anak
perawan yang cocok sama perasaan tuan Fulus, suka atau tak suka si perawan,
karena petani kebuntuan jalan, perkara hutang mungkin dihabiskan dengan
perdamaian diantara tuan Fulus dengan petani Indonesia berdua saja. Tetapi
kalau petani kebetulan punya anak bujang saja, atau kalau ada perawan yang
cantik tetapi jika si ayah meskipun kemauan anaknya yang tak mau dikawinkan dengan
tuan Fulus yang sudah tua dan beberapa kali kawin itu, maka disini timbullah
percekcokan. Tuan Halal bin Fulus kita andaikan marah dan pergi mengadu ke
Pengadilan.
Perkara
diperiksa. Kalau perlu tuan Fulus mencari advokad (lawyer) yang pintar; arief bisaksana,
yang tentu akan berusaha keras, menuntut nilai pembayarannya. Dalam 99 diantara
100 perkara semacam itu, tentulah tuan Halal bin Fulus berasal dari tanah Suci,
yang menang. Petani yang tak kuasa membeli beras atau sehelai pakaian buat anak
bini masa Lebaran, kalau tak meminjam lebih dahulu pada tuan Fulus, manakah
bisa bayar advokat. Pengadilan umpamanya memutuskan, bahwa si-tani mesti
menjual tanah, pekarangan, rumah dan perabotan kalau ada; sapi atau ayampun
kalau ada, buat membayar hutangnya.
Contoh yang telah diuraikan panjang lebar diatas
sesungguhnya adalah belum seberapa,
banyak sekali peristiwa semacam
itu yang terjadi di pulau Jawa dan penting buat kehidupan orang Indonesia.
Sekarang kita bertanya : Adilkah putusan Hakim
Pengadilan tadi?
Inilah salah satu dari pertanyaan (masalah)
yang tiada boleh
dijawab dengan ya, dan tidak saja. Karena pertanyaan itu berkenaan dengan
perkara yang berhubungan dengan masyarakat yang bertentangan diantara : Yang
berpunya dengan Tak berpunya.
Tuan
Fulus Muslimin yang Berpunya, sebagian besar dari kaum Ulama dan Pemerintah
berdasar “kepunyaan sendiri”, tentulah 100% membenarkan putusan itu. Petani
berhutang dan hutang mesti dibayar. Ini cocok dengan semua Undang kemodalan dan
cocok dengan semua Agama.
Sebaliknya filsafat kaum Tak Berpunya atau
Undang kaum Tak berpunya (dimana kaum Tak berpunya menguasai Negara, 100 % pula)
akan memutuskan bahwa putusan Hakim itu “tidak” adil.
Tan Malaka berpendapat, seandainya ia berkuasa mengambil putusan, maka ia akan menyuruh pilih saja satu dari dua putusan sbb :
Pertama, karena tuan Halal bin Fulus bukan
bangsa Indonesia, supaya pulang kembali ke Tanah Suci dengan diizinkan membawa
sekedarnya dari harta bendanya, atau
Kedua : tuan Halal bin Fulus boleh tinggal
disini, tetapi mesti mengembalikan semua hartanya pada Negara Indonesia. Dalam
hal kedua, maka dia harus lebih dahulu mesti dijadikan “manusia yang berguna buat
masyarakat Indonesia”, yaitu dengan menjadikan dia bukan paraciet, shylock, lintah-darat, tetapi
menjadikan “pekerja”. Sesudah itu baru boleh diterima menjadi penduduk yang
sama haknya dengan “pekerja” yang lain-lain.
Pendeknya
dalam perkara diantara dua pokok yang bertentangan, kita tidak bisa menjawab
dengan ya atau tidak (benar atau salah, adil atau dhalim), sebelum kita
mengambil pendirian, mengambil penjuru dari mana kita mesti memandang (point of
view). Apa yang dipandang adil dari satu pihak, berarti tak adil dipandang dari
pihak yang lain, dan sebaliknya. Sebab itu kita mesti lebih dahulu berpihak
pada yang lain, menentukan POINT OF
VIEW. Dari salah satu sudut barulah kita bisa memandang dan memutuskan ya atau
tidak.
.
. . . . pertanyaan yang tiada boleh dijawab dengan ya atau tidak saja. Dari
sinilah timbulnya Dialektika, yang juga pernah dinamakan Ilmu Berpikir dalam
Gerakan. Dalam hal semacam ini kita mesti menjawab ya dan tidak. Bukan saja ya
atau hanya tidak, tetapi ya dan tidak keduanya.
- Yang berkaitan dengan “Pergerakan” :
Satu bola, berguling, bergerak, pada satu saat
kita bertanya: Apakah bola ini pada saat ini disini atau tidak disini?
Inilah
pertanyaan yang tiada boleh dijawab dengan ya atau tidak saja. Dari sinilah
timbulnya Dialektika, yang juga pernah dinamakan Ilmu Berpikir dalam Gerakan.
Dalam hal semacam ini kita mesti menjawab ya dan tidak. Bukan saja ya atau
hanya tidak, tetapi ya dan tidak keduanya. sebab kalau kita jawab ya maka hal
ini bertentangan dengan keadaan bola yang bergerak. Bola yang bergerak tentulah
tidak disini lagi. Kalau sebaliknya kita jawab tidak, maka hal ini
mesti bertentangan dengan pertanyaan kita sendiri. Karena kita bertanya, apakah
pada saat ini bola itu ada disini, dan memang ada disini.
Jadi dalam semua benda yang bergerak, kita mesti
memakai Dialektika. Kita mesti ketahui, bahwa semua benda di dunia ini tak ada
yang tetap, semuanya berubah, bergerak. Tumbuhan muncul dari bijinya, tumbuh,
berbuah, dan mati, zatnya kembali ke tanah, ke air dan ke udara. Hewan lahir,
tumbuh, beranak, tua, mati dan zatnya kembali ke tanah. Logam berkarat dan
luntur. Bintang yang sebesar-besarnya bergerak pada sumbunya sendiri.
Bumi
bergerak mengelilingi Bintang, ialah Matahari. Atom yang kecil itupun tiadalah
tetap, melainkan bergerak juga. Begitu juga kodrat, berubah bentuknya dari satu
bentuk ke bentuk yang lain. Sekarang kodrat itu berupa panas, nanti dia berupa
sinar, sebentar lagi bertukar berupa cahaya. Sekarang kodrat itu tersembunyi
dalam air, nanti dalam uap. Disini kodrat panas atau sinar tersembunyi dalam
listerik, disana pada benda menyala. Begitulah seterusnya, seperti kata Engels
dalam Anti Duhring: “seluruhnya Gerakan Alam itu boleh diickhtiarkan dengan
“peralihan” kodrat yang tiada putus-putusnya dari satu bentuk ke bentuk yang lain”.
Banyak sekali pemikir mengichtisarkan Alam kita ini dengan : “Matter in move”,
benda bergerak, karena gerakanlah yang jadi sifat benda yang terutama, maka
Dialektikalah Hukum Berpikir yang terutama sekali.
Pada empat perkara tersebut diataslah timbulnya
persoalan Dialektika ; Kalau dipandang dari penjuru tempo, maka Dialektika itu boleh juga kita namai Ilmu Berpikir Berlainan, yaitu dalam
hal berpikir yang memperhatikan tempo dimasa sesuatu benda, tumbuh dan hilang,
hidup dan mati ;
Kalau dipandang dari penjuru kena-mengena dan seluk-beluknya sesuatu benda dengan
benda lain, maka Dialektika tadi boleh pula dikatakan Ilmu Berpikir yang dalam hal Kena-mengena ; Dalam hal
berseluk-beluk (verkettung und Zusammenhang, kata Engels), bukan sendiri.
Sering sekali pula Dialektika dinamai pula Ilmu Berpikir Pertentangan.
Dan seperti sudah kita katakan diatas juga
pernah dinamai Ilmu Berpikir dalam
Gerakan.
Engels mengatakan : “kita mesti mempelajari
suatu benda dengan memperhatikan “pertentangannya, kena-mengenanya serta
seluk-beluknya, pergerakannya, tumbuh dan hilangnya”.
Dialektika
dan logika : Bilakah dipakai Dialektika dan bilakah dipakai Logika?
Sungguhpun
“Dialektika” adalah yang utama menguasai daerah kita berpikir, namun tidak
berarti bahwa “Logika” tidak berguna sama sekali. Disini belum tempatnya buat
menguraikan Logika, tetapi kita tiada pula asing lagi sama Logika itu.
Cara
yang kita kemukakan yang dipakai dalam Ilmu Alam ialah cara yang diutamakan
dalam Logika. Kita masih ingat tiga cara
itu, yakni ;
- Induction ;
- Deduction ; dan
- Verification.
Sementara
itu tiga cara yang diutamakan dalam Logika yang dipakai dalam Matematika, ialah
:
- Synthetic ;
- Analytic ; dan
- ad Absurdum.
Buat
menjawab pertanyaan diatas (Bilakah dipakai Dialektika dan bilakah dipakai
Logika?), tiadalah perlu kita lebih dahulu menguraikan Logika yang lebar dan
dalam. Cukuplah kalau kita majukan disini sifat Logika yang terutama dan
bertentangan dengan sifat Dialektika. Menurut Logika ya itu ya dan ya itu bukan
tidak ; bentuk itu tidak
lazim dipakai dalam buku Logika, namun maknanya sama.
Bentuk
yang lazim dipakai (dalam buku-buku) buat menggambarkan Logika adalah A =
A ; A bukan Non A (tidak A). Jadi Hukum berpikir yang berbentuk A bukan Non A
itu, sama maknanya dengan ya itu bukan tidak. Dalam buku Logika juga sering
dikatakan “sesuatu barang bukanlah lawannya barang itu”, “a thing is not its
opposite”. Tetapi diatas telah diterangkan, bahwa sesuatu barang itu boleh
lawannya barang itu, A itu boleh Non A, ya itu boleh berarti tidak; bola
bergerak itu pada satu saat boleh disini dan tak disini. Pada satu saat orang
itu boleh hidup dan mati. Pada satu waktu air itu boleh air atau uap dsb.
Bagaimana kita bisa damaikan kedua “Hukum
Berpikir” yang berlawanan satu sama lainnya itu? Atau mereka tidak bisa
didamaikan, sehingga kalau yang satu hidup yang lainnya mesti mati? Kalau yang
satu dipakai yang lain mesti dibuang? Atau bolehkah masing-masing kita beri
daerahnya, sehingga kita bisa mengatakan bahwa pada daerah ini kita pakai
terutama Dialektika, dan pada daerah itu kita pakai terutama Logika?
Memang
kita bisa menentukan daerah masing-masing dan pada daerah masing-masing
berkuasa salah satunya “Hukum Berpikir” itu. Tetapi tiadalah masing-masing
berkuasa dengan sewenang-wenang, melainkan mengakui kekuasaan pihak yang lain
dan berseluk-beluk juga dengan yang lain itu. Bahwasanya dalam Ilmu Gerakan
sendiri, yakni dalam Ilmu Kodrat sebenarnya dalam Mechanikal timbul Dialektika.
Disinilah Dialektika mempunyai daerah yang luas sekali. Ilmu benda-berhenti
masuk ke daerah Statics. Pada benda yang berhenti yang boleh diperamati dengan
tenang ini, berkuasa sekali Logika. A= A dan A bukan Non A.
Ueberweg |
Kata Ueberweg : pertanyaan yang pasti dan
berpengertian pasti apakah satu sifat termasuk pada satu benda, mesti dijawab
dengan ya atau tidak.
Marilah kita ambil satu misal buat
menterjemahkan definisi Ueberweg itu. Misalkan dihadapan kita ada satu kotak.
Kotak itu seperti biasa mempunyai 6 (enam) sisi. Sisi depan dan belakang dicat
putih, serta sisi kiri dan kanan dicat hitam. Kalau kita mesti bertanya menurut
Ueberweg, kita mesti menyusun persoalan kita seperti dibawah ini:
Apakah warna kotak ini, kalau dipandang dari
muka? Jawab putih.
Kalau dipandang dari sisi kiri? Jawab hitam.
Dengan begitu pertanyaan kita adalah pasti. Kita
tanyakan warnanya kotak kalau dipandang dari satu pihak, bukan warna seluruhnya
kotak itu, hanya warna sebagiannya dari kotak tadi. Jawabnya yaitu putih juga
pasti, karena putih bukan hitam (A = A dan A bukan Non A). Dengan begitu kita
memenuhi definisi Ueberweg seperti diatas. Warna kotak kalau dipandang dari
muka, jadi sebagian kotak adalah putih bukan hitam.
Kalau
pertanyaan itu mesti disusun buat seluruhnya kotak dan cocok pula dengan
definisi Ueberweg, kita mesti susun :
Apakah
warna seluruh kotak itu kalau kita pandang dari satu sudut?
Disini
Ueberweg gagal. Dia tidak bisa menjawab secara Logika, sebab disini kita
bertemu dengan perkara yang berseluk-beluk. Pertanyaan seperti ini kita mesti
jawab dengan putih dan hitam, ialah putih dan tak putih, A dan Non A. Jawabnya
kembar, tak bisa dipisahkan.
Tetapi Ueberweg juga cerdik dan bukan keras
kepala. Pada tempat lain, sesudah berpengalaman lebih banyak, dia juga
terangkan kira-kira : Kalau bertemu perkara yang simple, mudah, kita mesti
pakai Logika, tetapi kalau berjumpakan yang sulit, complex, kita mesti pakai
perpaduan dari dua pertentangan. Dia tiada menyatakan Dialektika, melainkan
perpaduan dua pertentangan, ialah perpaduan putih dan hitam, A dan Non A yang
menurut definisi Ueberweg bermula, tiada boleh terjadi.
Begitu
juga dalam perkara yang termasuk ke dalam daerah pertentangan, maka kita lebih
dahulu mesti tentukan Dialektika dan Logika masing-masingnya.
Kalau
ditanya dengan pasti, bagaimanakah putusan Hakim terhadap tuan Halal bin Fulus
dengan petani tadi, kalau dipandang dari pihak Kaum Berpunya, maka kita boleh
jawab dengan pasti: ya.
Kalau
sebaliknya ditanya dengan pasti pula, apakah putusan itu, kalau dipandang dari
pihak Kaum Tak Berpunya, kita juga bisa jawab dengan pasti pula: tidak.
Kedua
jawab itu pasti, cocok dengan Logika: ya itu ya ; tidak itu tidak; ya
bukan tidak. (A = A ; A itu bukan Non A). Jadi dalam daerah yang pasti ini,
ialah dalam daerah salah satu pihak di antara dua pihak yang bertentangan, maka
kita boleh menjalankan Logika.
Tetapi dalam bulatnya, abstraknya, pertanyaan
tadi sudah tak bisa lagi diselesaikan dengan Logika. Kita mesti lari kepada
Dialektika. Jadi kalau kita bertanya bulatnya saja, apakah putusan Hakim tadi
adil, maka tiadalah lagi bisa diajwab dengan ya atau tidak saja. Kita mesti
jawab dengan ya dan tidak, dengan A dan non A, kembar. Seorang penjawab
berdarah Dialektika, walaupun belum dapat latihan Dialektika, juga menjawab
pertanyaan semacam itu dengan pertanyaan pula. Dia bertanya dipandang dari
pihak manakah adil atau tidaknya? Dalam pertanyaan yang semacam ini, sudah
terkandung jawab yang pasti pula.
Buat
penglaksanaan contoh penghabisan, kita ambil perkara yang berkenaan dengan
tempo. Memang tempo penting dalam semua persoalan. Bukan saja “Scientist” yang
tajam, tetapi juga “Strategist”, ahli perang, yang maha tangkas dan Diplomat
yang piawai (ulung) tiada boleh melupakan Sang Tempo. Buat contoh tiadalah
perlu kita panggil kesini Strateg atau Diplomat.
Marilah kita ambil barang biasa saja, seperti
air. Kita tahu air dapat memutar roda kincirnya orang Minangkabau, tetapi air
saja berapapun kuatnya dialirkan, tak bisa memutar roda Lokomotif yang berat
itu yang mesti menarik sepuluh atau lebih gerobak penuh muataan pula. Air itu
mesti dimasak dahulu dalam ketelnya Lokomotif
sampai jadi uap. Uap ini dengan memakai kecerdikan tehnik bisa memutar
roda tadi terus-menerus, dari Jakarta sampai ke Surabaya, kalau perlu sepuluh
kali lebih jauh. Jadi uap yang memutar roda Lokomotif tadi bukan air, walaupun
uap tadi berasal dari air, dan air ini kalau dimasak cukup lama, jadi cukup
membiarkan Sang Tempoh bekerja, akan jadi air uap. Sekarang akan kita pakai “Kunci-Ueberweg”
buat menyelesaikan persoalan yang pasti seperti berikut :
Bisakah air memutar roda lokomotif? Kita jawab
dengan pasti, tidak.
Kalau sebaliknya ditanya dengan pasti juga:
bisakah uap keluar dari ketel lokomotif kita tadi, yakni kalau cukup banyak,
memutar rodanya? Kita jawab dengan pasti pula, bisa (kalau lokomotif rusak
tentu jawabnya pula rusak!).
Tetapi pada saat Sang Tempo, dimasa Sang Tempoh
belum lagi berkesempatan menjalankan kewajibannya pada saat, dimasa air tadi
sedang bertukar jadi uap, di masa sebagian air sedang jadi uap, dan uap masih
lekat pada air, pada saat dimasa panasnya air tepat 100 derajat, disini
Ueberweg gagal.
Kalau
kita pakai “Kunci-Ueberweg” dan bertanya: Bisakah uap kita semacam ini memutar
roda lokomotif, kita tidak bisa jawab dengan ya atau tidak saja, tetapi kita
pakai Kunci-Dialektika dengan menyelesaikan jawabanya dengan ya dan tidak,
kembar. Tidak bisa yakni pada saat ini, pada satu saat, persis, tepat pada
panasnya air 100 º. Pada saat ini Sang Tempo belum beres lagi kerjanya dan Sang
Lokomotif masih mendesus-desus, seperti naga marah, dan Bung Masinis masih
menunggu dengan sabar. Tetapi belum habis perkataan tidak bisa tadi dikeluarkan
dari mulut si penjawab, roda lokomotif sudah bergerak, seolah-olah membatalkan
jawab tak bisa tadi dengan perkataan bisa. Jadi pada saat panas air persis,
tepat 100 º C tadi (umpamanya saja) jawab pertanyaan kita mesti
bisa dan tak bisa, ya dan tidak, kembar, berpadu. Pada saat ini berkuasalah
Dialektika: A = Non A.
Penjawab yang berdarah Dialektika walaupun belum
latihan juga tiada melupakan tempo dalam perkara yang berkenaan dengan tempo.
Pertanyaan: Bisakah uap air dimasak memutar lokomotif, akan dijawabnya dengan
pertanyaan pula; sesudah berapa lama? Sesudah Sang Tempo dipastikan, barulah
bisa dipastikan ya atau tidaknya. Pada daerah inilah berlaku Hukum
Logika A = A ; A bukan Non A
Seperti
diketahui yang diakui sebagai Ahli Dialektika berdasarkan pikiran
pada Zaman Baru, ialah Hegel. Nama, arti dan cara Dialektika itu (cara Hegel) memang
sudah tidak asing lagi pada zaman Yunani ; tetapi di tangan Hegel, makna dan
bentuknya sudah berlainan.
Dialektika itu dapat
dibedakan menjadi dua yaitu DIALETIKA
IDEALISTIS dan DIALEKTIKA MATERIALISTIS.
Seperti
diketahui yang Pertama ; DIALETIKA IDEALISTIS, berdasarkan Idee, pikiran
belaka, impian belaka, yang Kedua ; DIALEKTIKA MATERIALISTIS, berdasarkan
benda. Yang pertama dimonopoli oleh kaum yang memonopoli kekuasaan, harta dan
kecerdikan. Yang kedua memonopoli tindasan, kemiskinan dan kegelapan.
Seperti
diketahui yang diakui sebagai Ahli Dialektika berdasarkan
pikiran pada Zaman Baru, ialah Hegel. Nama, arti dan cara Dialektika itu (cara
Hegel) memang sudah tidak asing lagi pada zaman Yunani ; tetapi di tangan
Hegel, makna dan bentuknya sudah berlainan.
ARIESTOTELES,
HERACLIT dan DEMOCRIT digelari si gelap, sebab mulanya orang tak mengerti uraian
yang dalam dan dialektis itu. Mereka banyak memakai perkara (uraian yang dalam
dan dialektis) itu.
Diantara
pemikir Timur, baik di India ataupun di Tiongkok, ada juga yang sudah cakap
memakai senjata berpikir ini. Tetapi sudah tentu, berdasarkan kegaiban
semata-mata.
Hegel menyandarkan nama dan pengertian Dialektika itu
pada kata dialogue, soal jawab, terutama
dalam persoalan filsafat. Soal jawab dalam persoalan tentang Hidup dan Alam,
Life and Universe Kuno (Fischer) yang dikutip oleh Plechanoff dalam buku “Beberapa
Dasar Marxisme” berkata kira-kira :
“Dengan
bertambahnya umur dan pengalaman, maka pengetahuan manusia tentang Hidup dan
Alam, bertambah-tambah seperti pengetahuan dua pihak pada satu soal-jawab yang
hangat dan berguna”.
Soal
jawab yang hangat dan berguna, yang menambah pengetahuan kedua belah pihak
inilah dialogue. Semacam inilah yang tergambar di otak manusia, yang dinamai
DIALEKTIKA. DIALEKTIKA di tangan Hegel, pada abad ke XIX, dimana Science,
Tehnik dan Kesenian, jauh berbeda dengan kebudayaan Yunani + 2.400
tahun lebih dahulu, atau dengan Timur. DIALEKTIKA di tangan Hegel itu sudah
tentu lebih kaya dan lebih tersusun dari pada DIALEKTIKA Yunani atau Timur Asli
itu.
Apakah
perbedaan dan persamaan Dialektika Hegel dkk dan Marx-Engels dkk. Hegel
dalam bukunya LOGIKA JILID I mendefinisikan Dialektika, kalau di-Indonesiakan berbunyi kira-kira: Yang kita
namakan Dialektika ialah gerakan pikiran, dimana yang
seolah-olah tercerai itu, sendirinya oleh sifat sendiri, yang satu memasuki
yang lain, dan dengan begitu membatalkan perceraian itu.
Dialektika
itu masuk jenis gerakan pikiran, geistiche bewegung. Buat Marx, Dialektika itu
bukanlah semata-mata gerakan pikiran, melainkan Hukum dari Wirkliche Logik der wirkliche
gegenstande, Hukum berpikir sebenarnya, tentang benda sebenarnya. Kata
Engels berulang-ulang: Bayangan gerakan
“benda sebenarnya” dalam otak kita, otak kita itu seolah-olah cermin
membayangkan gerakan benda tadi. Atau pikiran kita menterjemahkan gerakan di
luar itu dengan bahasanya sendiri.
Jadi
perbedaan utama antara Dialektika Marx-Engels dkk dan gurunya Hegel, ialah
:
Hegel
menganggap gerakan pikiran itu sebagai gerakan idee semata-mata (janganlah
dilupakan absoluut Idee, Maha Rohani dari Hegel), sedangkan Marx dan Engels
menganggap otak itu seolah-olah cermin yang membayangkan gerakan benda
sebenarnya yang ada diluar otak kita.
Dalam
perbedaan diantara kedua jenis Dialektika itu, ada pula persamaan. Kedua pihak
berdiri atas gerakan, bukan pada ketetapan. Kedua yang seolah-olah tercerai
itu, menurut Hegel oleh sifatnya sendiri, yang satu memasuki yang lain, dan
getrennt scheinende, durch sich selbst, durch das, was sich sind in einander
ubergehen.
Jadi
“adil” itu adanya, karena ada “dhalim”, ya itu berkenaan dengan tidak. Keduanya
berseluk-beluk, yang satu mengenai yang lain. Oleh karena adil dan dhalim tadi
kena-mengenai, masuk-memasuki, maka perceraian tadi terbatas, yang berupa
bercerai tadi, jadi berpadu. A jadi Non A; ya itu padu dengan tidak.
Pergerakan adil dan dhalim
dalam otak kita semacam itu, juga diakui oleh Marx dan Engels. Disini juga ada
persamaan: Kedua pengertian yang berupa terpisah itu, sebetulnya bisa berpadu.
Tetapi oleh Marx dan Engels perpaduan itu dianggap sebagai hasil perjuangan dua
benda yang nyata, ialah dua klas dalam masyarakat. Perpaduan itu bukan terjadi
dengan damai, seperti diterjemahkan kebanyakan pengikut Hegel sendiri. Hegel
sendiri seperti sudah dinyatakan, revolusioner terhadap kaum Ningrat, tetapi
reaksioner terhadap kaum Tak Berpunya.
Perpaduan
itu ialah sebagai hasil perjuangan, menurut Engels, sebagai hasil yang lebih
tinggi derajatnya dari yang sudah, sebagai positive Result. “Negation der
Negation” dari Hegel sendiri “Pembatalan dari Kebatalan” juga mempunyai derajat
yang lebih tinggi dari thesis atau anti-thesis sendiri-sendirinya. Tetapi
pembatalan kebatalan ini buat Hegel semata-mata berdasarkan pikiran. Sedangkan
buat Marx-Engels yaitu berdasarkan benda.
Pada masa belum ada perpecahaan antara Stalin-Trotsky
dalam kalangan Komintern, Thalheimer (sebagai ahli Komunis Jerman yang
terkemuka) dalam salah satu tulisan, mendefinisikan : Dialektika itu, bukanlah
saja berbentuk Ilmu Berpikir, yakni Ilmu tentang Undangnya Gerakan Pikiran,
tetapi juga Ilmu dari Undangnya Alam dan Sejarah Bergerak. Alam dan Sejarah inilah
yang pertama dan dimukalah, sedang (Gerakan Pikiran) yang kedua. Definisi ini
cocok dengan Engels, bahwa undang gerakan Alam dan sejarah itu, ialah yang
pertama itu, terbayang diotak kita, seperti terbayang pada cermin (bersambung).
*
The spirit of a nation is reflected in its history,
its religion, and the degree of its political freedom. The improvement of
individual morality is a matter involving one’s private religion, one’s
parents, one’s personal efforts, and one’s individual situation. The
cultivation of the spirit of the people as a whole requires in addition the
respective contributions of folk religion and political institutions. (Hegel : Prospects for a Folk Religion -1793)
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar